Suara.com - Aksi viral Ustaz Felix Siauw mengibarkan bendera One Piece di sebuah taman di Bogor bukan sekadar fenomena media sosial biasa.
Jika dilihat lebih dalam, aksi ini merupakan sebuah sosial eksperimen yang secara langsung menguji konsistensi antara pernyataan politik di tingkat tertinggi dan implementasinya di level akar rumput.
Insiden yang berujung perdebatan dengan petugas keamanan ini menjadi cermin menarik tentang bagaimana kebijakan publik dan jaminan kebebasan dari pemerintah pusat dipahami dan dijalankan oleh aparat di lapangan.
Berikut adalah 5 fakta penting yang mengupas aksi ini dari sudut pandang uji kebijakan publik.
1. Bermula dari 'Lampu Hijau' Presiden Prabowo
Konteks utama dari seluruh aksi ini adalah pernyataan Presiden Prabowo Subianto. Menanggapi fenomena seruan pemasangan atribut One Piece menjelang HUT RI, Presiden menegaskan bahwa hal tersebut tidak menjadi masalah selama tidak mengandung unsur provokasi.
Pernyataan ini disambut positif dan dianggap sebagai sinyal kedewasaan pemerintah dalam melihat ekspresi budaya populer di kalangan masyarakat, terutama anak muda. Pernyataan inilah yang menjadi dasar hipotesis dari sosial eksperimen yang dilakukan Ustaz Felix.
2. Aksi Direncanakan Sebagai 'Sosial Eksperimen'
Aksi yang dilakukan Ustaz Felix bersama YouTuber Koyo Cabe pada Senin, 14 Agustus 2025, bukanlah tindakan spontan. Dalam video yang mereka rekam, dijelaskan bahwa tujuan utamanya adalah untuk melakukan "pembuktian" atau sosial eksperimen.
Mereka ingin melihat secara langsung apakah "lampu hijau" dari Presiden Prabowo benar-benar berlaku dan dipahami secara seragam hingga ke tingkat petugas di lapangan.
Baca Juga: Miris! Ortu Asyik Nonton Sound Horeg, Anak Dibiarkan Tidur di Aspal Beralas Tikar
Ini adalah upaya untuk menerjemahkan pernyataan politik dari tataran wacana ke dalam realitas praktis di ruang publik.
3. Realitas di Lapangan: Dihentikan Petugas dalam 30 Menit
Hasil dari eksperimen ini datang dengan cepat. Baru sekitar setengah jam bendera ikonik 'Topi Jerami' berkibar, petugas keamanan taman (Park Ranger) datang dan meminta kegiatan tersebut dihentikan.
Momen ini menjadi temuan utama dari "penelitian" mereka: terdapat perbedaan mencolok antara pernyataan di level Istana dan tindakan di level taman kota.
Intervensi petugas menunjukkan bahwa jaminan kebebasan yang telah dinyatakan Presiden belum tentu terimplementasi secara mulus di seluruh lapisan birokrasi.
4. Momen Kunci: Pertanyaan 'Mana Aturan Tertulisnya?'
Titik paling krusial dari insiden ini adalah saat Ustaz Felix Siauw menantang dasar hukum dari larangan tersebut. Ia tidak berdebat soal boleh atau tidaknya bendera itu, melainkan mempertanyakan landasan aturan yang digunakan petugas.
“Yang mau aku ajarin adalah, problematiknya cerita One Piece bukan bajak laut mas, tapi tentang orang sewanang-wenang, dan orang tidak suka. Tapi kalau memang ada aturannya (yang melarang), aturannya kasih tahu ke kita!” tegasnya.
Pertanyaan ini mengubah fokus perdebatan, dari sekadar simbol anime menjadi prinsip dasar negara hukum: setiap tindakan aparat harus didasarkan pada peraturan yang jelas dan tertulis, bukan interpretasi atau asumsi pribadi.
5. Mengungkap Celah Antara Pernyataan Politik dan Praktik Birokrasi
Secara keseluruhan, aksi ini berhasil mengungkap adanya potensi kesenjangan (gap) antara arahan politik di tingkat pusat dan praktik birokrasi di tingkat bawah. Insiden ini memunculkan pertanyaan penting:
- Apakah sosialisasi kebijakan dari pusat ke daerah sudah efektif?
- Apakah aparat di lapangan memiliki pemahaman yang seragam terhadap sebuah isu?
- Apakah ada standar operasional prosedur (SOP) lokal yang mungkin bertentangan dengan kebijakan nasional?
Terlepas dari pro-kontra yang menyertainya, sosial eksperimen ini secara tidak langsung telah memberikan evaluasi publik yang berharga mengenai konsistensi dan alur komunikasi dalam pemerintahan.