Suara.com - Kabar tragis dari Sukabumi menjadi tamparan keras bagi wajah kesehatan publik Indonesia. Seorang balita ditemukan meninggal dunia dengan kondisi mengenaskan, tubuhnya dipenuhi cacing. Kasus ini sontak membuat publik tersentak dan memaksa para pejabat hingga pakar angkat bicara.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, bahkan tak bisa menutupi amarahnya. Ia menyebut kejadian ini sebagai aib dan bukti nyata kegagalan pelayanan dasar di tingkat desa.
Menanggapi tragedi ini, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. Tjandra Yoga Aditama mendesak pemerintah untuk tidak hanya fokus pada kasus ini, melainkan segera menyisir lingkungan sekitar untuk mencegah bom waktu serupa meledak di kemudian hari.
Menurut Tjandra, infeksi kecacingan yang merenggut nyawa balita tersebut bukanlah masalah baru. Penyakit ini adalah musuh lama yang kerap diremehkan, padahal bisa berakibat fatal.
"WHO mencatat penyakit ini disebabkan oleh parasit yang hidup di tanah," jelas Tjandra dalam keterangannya, Rabu (20/8/2025).
Jenis-jenis cacing yang menjadi biang kerok antara lain; Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides), Cacing Cambuk (Trichuris trichiura), dan Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)
Bagaimana parasit mematikan ini bisa masuk ke tubuh anak? Tjandra membeberkan jalur penularannya yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari.
"Penularannya melalui telur cacing yang ada di tinja, kemudian mengontaminasi tanah, utamanya di daerah yang buruk sanitasinya," terangnya.
Telur-telur mikroskopis ini kemudian dengan mudah tertelan oleh anak-anak saat mereka memasukkan tangan ke mulut setelah bermain di tanah yang terkontaminasi, tanpa mencuci tangan dengan benar. Selain itu, air minum yang tercemar juga bisa menjadi medium penularan.
Baca Juga: Diprotes soal Lapangan Kerja, Dedi Mulyadi Malah Klaim Matematika Warga Jabar Lemah
Gizi Buruk dan Sanitasi Jadi Pintu Masuk
Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi itu menambahkan, ada faktor lain yang membuat seorang anak menjadi sasaran empuk infeksi cacing, yaitu gizi buruk.
Anak dengan status gizi buruk memiliki daya tahan tubuh yang lemah, sehingga lebih rentan terinfeksi dan mengalami komplikasi parah. Ini menciptakan sebuah lingkaran setan di mana kemiskinan, sanitasi buruk, dan gizi buruk saling terkait dan berujung pada tragedi.
Karena itu, strategi pemberantasannya tidak bisa sepotong-sepotong. Harus ada serangan menyeluruh yang meliputi:
- Pemberian obat cacing secara berkala.
- Penyuluhan intensif tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
- Perbaikan masif fasilitas sanitasi dan akses air bersih.
- Jaminan akses pengobatan yang aman dan efektif bagi mereka yang sudah terinfeksi.
Tjandra mengingatkan, kasus ini bukan sekadar tragedi lokal, melainkan cermin dari masalah nasional yang bisa mengancam target besar bangsa.
"WHO sudah mencanangkan target global pengendalian kecacingan untuk tahun 2030. Tentu akan bagus kalau kita di Indonesia juga menetapkan target yang jelas," ujarnya.