Suara.com - Wacana untuk menyediakan satu gerbong khusus merokok di rangkaian kereta api jarak jauh yang diusulkan oleh anggota Komisi VI DPR RI, Nasim Khan, memicu kontroversi dan kritik keras dari komunitas medis.
Usulan tersebut, yang dilontarkan dengan alasan kenyamanan penumpang perokok dalam perjalanan panjang, dinilai sebagai sebuah langkah mundur dalam kebijakan kesehatan publik.
Menanggapi hal ini, Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Prof Tjandra Yoga Aditama, menegaskan bahwa kebijakan transportasi publik seharusnya berfokus pada perlindungan kesehatan seluruh warga negara, bukan memfasilitasi perilaku berisiko yang telah terbukti merugikan.
“Merokok jelas terbukti merugikan kesehatan. Pemerintah dan legislatif punya kewajiban menjaga dan meningkatkan kesehatan seluruh anak bangsa. Karena itu akan bagus kalau budaya tidak merokok itu terus diperluas, termasuk kebijakan kereta api yang bebas asap rokok,” kata Tjandra kepada Suara.com, Kamis (21/8/2025).
Sebagai pakar kesehatan paru, Prof Tjandra menganalogikan kebijakan ini dengan standar keselamatan di industri penerbangan internasional, di mana larangan merokok bersifat mutlak tanpa kompromi, bahkan dalam penerbangan lintas benua yang berdurasi belasan jam.
“Siapapun perokoknya kalau terbang ke Eropa atau Amerika toh bisa tidak merokok. Kalau aturan maskapai kita ikuti, maka kebijakan tidak merokok dalam sekian jam perjalanan kereta api juga perlu ditaati,” tegasnya.
Menurutnya, aturan larangan merokok yang berlaku saat ini bukan sekadar soal kenyamanan penumpang non-perokok, tetapi juga memiliki dampak positif sebagai medium edukasi dan momentum bagi perokok aktif untuk mengurangi ketergantungan.
"Ketika perokok menahan keinginan merokoknya, kalau bisa malah jadi pemicu untuk berhenti sepenuhnya,” ucap Tjandra.
Ia juga membantah argumen teknis bahwa penyediaan ventilasi khusus pada gerbong merokok dapat menjadi solusi efektif.
Baca Juga: Bikin Geleng-Geleng Kepala, Anggota DPR Usul Gerbong Rokok di Kereta: Pada Adu Bobrok!
Risiko paparan asap rokok bekas terhadap penumpang lain dan petugas kereta api dinilai tetap sangat tinggi dan tidak dapat dieliminasi sepenuhnya.
“Bagaimanapun tentu buruk kalau seseorang mengganggu kesehatan orang lain dengan asap rokoknya. Ventilasi tidak dapat menjamin, belum lagi orang atau petugas yang lewat,” ujar dia.
Sebelumnya, anggota DPR RI Fraksi PKB, Nasim Khan, mengusulkan agar PT Kereta Api Indonesia (KAI) mempertimbangkan penyediaan gerbong khusus merokok untuk mengakomodasi penumpang dalam perjalanan jarak jauh yang bisa mencapai lebih dari delapan jam.
![Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Nasim Khan meminta PT KAI menyediakan gerbong merokok rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) Bobby Rasyidin di Gedung DPR RI, Senayan, pada Rabu (20/8/2025). [Suara.com/Bagaskara]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/20/99729-anggota-komisi-vi-dpr-ri-fraksi-pkb-nasim-khan.jpg)
Namun, Kementerian Perhubungan telah secara tegas menyatakan bahwa seluruh moda angkutan umum, termasuk kereta api, merupakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Landasan hukumnya jelas, mengacu pada Undang-Undang Kesehatan, Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012, serta diperkuat oleh Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 29/2014 yang melarang aktivitas merokok di semua sarana transportasi publik.