Suara.com - Sepak bola seharusnya tentang sportivitas, tentang 90 menit adu strategi di atas rumput hijau yang diakhiri dengan jabat tangan.
Namun di Jasinga, Bogor, permainan ini telah bermutasi menjadi sesuatu yang jauh lebih gelap. Ia menjadi penanda permusuhan, alasan untuk saling benci, dan kini, menjadi tiket menuju liang lahat.
Kematian WS, warga Kampung Parungsapi, yang tewas mengenaskan ditusuk parang pada 17 Agustus 2025, adalah bukti paling brutal dari transformasi ini.
Nyawanya menjadi tumbal dari sebuah "perang" yang apinya pertama kali disulut di lapangan sepak bola 15 tahun silam.
Ini adalah kisah tragis bagaimana olahraga paling populer di dunia bisa menjadi ritual maut di tingkat kampung.
Semua berawal dari sebuah pertandingan. Kapolres Bogor, AKBP Wikha Ardilestanto, yang turun langsung menyelidiki akar konflik, menemukan bahwa luka ini sudah sangat dalam dan diwariskan.
Sebuah laga sepak bola antara pemuda Kampung Parungsapi dan Kampung Peteuy belasan tahun lalu menjadi titik nol dari kebencian komunal.
Kekalahan bukan lagi soal skor, tapi soal harga diri kampung yang terinjak. Ejekan suporter di pinggir lapangan bukan lagi bumbu penyedap, tapi deklarasi perang.
"Kalau cerita awalnya Pertandingan olahraga kemudian menimbulkan gesekan, ternyata itu berlangsung sampai 15 tahun, cukup mendarah daging," jelas AKBP Wikha, Kamis (21/8/2025).
Baca Juga: Buah Hati Jalani Pengobatan Thalasemia, Program JKN Jadi Harapan Vinne
![Kapolres Bogor, AKBP Wikha Ardilestanto [Egi/SuaraBogor]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/21/33757-akbp-wikha-ardilestanto.jpg)
Sejak saat itu, setiap pertemuan, baik di lapangan maupun di luar lapangan, selalu sarat dengan ketegangan. Sepak bola tak lagi dimainkan dengan kaki, tapi dengan emosi dan gengsi.
Generasi baru tumbuh dengan narasi bahwa kampung seberang adalah "musuh" yang harus dikalahkan, dengan cara apa pun.
Dendam yang dipendam selama 15 tahun itu akhirnya meledak. Pada 17 Agustus 2025, insiden yang seharusnya bisa diselesaikan dengan kepala dingin, menjadi pemicu pertumpahan darah.
Intimidasi warga Parungsapi yang melintas di Kampung Peteuy, diikuti lemparan batu, sudah cukup untuk menyulut sumbu yang sangat pendek.
Kabar penyerangan itu memicu amarah kolektif. Warga Parungsapi melakukan serangan balasan. Jalanan kampung berubah menjadi arena pertempuran.
Di tengah kekacauan itu, tak ada lagi aturan main, tak ada wasit, yang ada hanyalah amarah buta.
WS menjadi korban. Ia tumbang bukan karena tekel keras di lapangan, melainkan oleh sabetan parang yang mengakhiri hidupnya.
Liang lahat menjadi garis finis dari sebuah pertandingan yang tak pernah benar-benar usai.
Kasus Jasinga adalah potret mikro dari fenomena yang lebih besar di Indonesia fanatisme buta dalam olahraga yang seringkali melampaui nalar sehat.
Ketika identitas sebuah kelompok—entah itu klub profesional atau sekadar tim "tarkam"—dilekatkan pada harga diri, maka olahraga kehilangan esensinya.
Kapolres Bogor AKBP Wikha Ardilestanto sadar betul betapa berbahayanya api dalam sekam ini. Mediasi memang telah dilakukan, namun ia juga mengakui bahwa potensi konflik susulan masih sangat nyata.
"Potensi-potensi (konflik) itu pasti ada, kemarin kita sudah membuat kesepakatan kita sudah mempertemukan kedua belah pihak bahwa ke depan kita harus menjaga situasi kamtibmas agar aman terkendali, jangan percaya dengan berita hoaks yang muncul memanas-manasi," tutupnya.