Suara.com - Platform digital seperti Google disebut sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas maraknya hoaks. Ini dikarenakan adanya kemudahan orang membuat akun anonim.
Hal ini disampaikan Samdan, salah satu peserta forum diskusi yang digelar Bisnis Indonesia di Radio Republik Indonesia (RRI), Jakarta, pada Kamis (21/8/2025).
"Setiap orang yang ingin melakukan fitnah pasti ingin menyembunyikan identitasnya. Masalahnya, ketika kita buat akun di platform Anda, bisa pakai nama siapa saja. Kenapa tidak wajibkan pakai NIK KTP?" tanya Samdan kepada perwakilan Google, Kamis (21/8/2025).
Menurutnya, percuma mengedukasi masyarakat jika sumber masalahnya, yaitu akun-akun anonim penyebar hoaks, tidak ditindak dari akarnya.
Ia berpendapat, jika setiap akun terverifikasi dengan identitas asli, maka penyebar hoaks akan berpikir dua kali.
Menanggapi hal tersebut, Felicia dari Google Indonesia menjawab tantangan tersebut dengan menjelaskan bahwa pihaknya sudah melakukan berbagai upaya proaktif.
"Secara teknologi, Indonesia adalah negara keempat terbesar di dunia dengan jumlah video yang kami remove secara otomatis dari YouTube pada kuartal pertama tahun ini, jumlahnya 667 ribu," ungkap Felicia.
Ia juga menjelaskan tentang fitur Content ID dan Safe Browsing yang secara otomatis mendeteksi konten berbahaya.
Namun, terkait kewajiban KTP, ia mengakui adanya kompleksitas kebijakan global dan privasi pengguna.
Baca Juga: Ada Apa dengan Eksekusi Silfester? Kejari Jaksel Ungkap Alasan Rahasia ke Komjak
Sekretaris Ditjen Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Mediodecci Lustarini, menambahkan bahwa kewajiban registrasi dengan NIK pun bukan tanpa celah.
"Registrasi kartu SIM prabayar saja masih banyak yang bisa menipu. Ini tantangan kita bersama," ujarnya.
Meski begitu, ini menjadi sinyal kuat bahwa masyarakat menuntut tanggung jawab yang lebih besar dari platform digital untuk membersihkan ekosistem informasi dari "sampah" hoaks.
Reporter: Maylaffayza Adinda Hollaoena