Suara.com - Upah Minimum Regional (UMR) di Jepang menjadi sorotan publik Indonesia setelah Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman membandingkan harga beras di negeri sakura dengan kondisi di Tanah Air.
Dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI pada 21 Agustus 2025, Amran menyebut harga beras di Jepang sudah mencapai Rp100 ribu per kilogram.
Oleh karena itu, kenaikan harga di Indonesia seharusnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan.
"Sekarang ini saja baru naik sedikit sudah ribut. Jepang sudah Rp100 ribu per kilo, Bu Ketua, harga beras hari ini," ucap Amran saat menanggapi kritik soal harga beras.
Mentan menilai kenaikan harga beras di Indonesia masih dalam batas wajar karena hanya naik Rp100 per kilogram pada jenis medium maupun premium.

Namun perbandingan itu langsung diprotes Ketua Komisi IV DPR RI Titiek Soeharto yang menilai tidak relevan mengingat pendapatan masyarakat Indonesia jauh lebih rendah dibanding Jepang.
"Nggak bisa dibandingkan dengan Jepang. Income per kapita kita juga sudah lain, Pak," tegas Titiek dalam rapat tersebut.
Potongan video perdebatan itu kemudian menyebar luas di media sosial dan memicu diskusi hangat di kalangan warganet.
Sebagian publik mendukung Titiek dengan alasan bahwa daya beli masyarakat Indonesia tidak bisa disamakan dengan Jepang yang memiliki standar upah jauh lebih tinggi.
Baca Juga: Titiek Soeharto Cek Harga Beras di Kampung Menteri Pertanian, Ini Hasilnya!
Data menunjukkan harga beras di Jepang memang sempat melonjak tinggi.
Pada Mei 2025, harga beras di negara tersebut mencapai 5.000 yen atau sekitar Rp500 ribu per 5 kilogram, yang jika dihitung per kilogram mendekati Rp100 ribu.
Krisis beras di Jepang sudah berlangsung sejak tahun lalu akibat gelombang panas ekstrem pada musim panas 2023 yang memengaruhi panen.
Selain itu, faktor lain seperti pembelian panik akibat peringatan bencana alam ikut memperburuk kondisi.
Bahkan pada 29 April 2025, Menteri Pertanian Jepang datang ke Indonesia karena harga beras di negaranya sudah hampir Rp100 ribu per kilogram, tepatnya Rp93 ribu.
Kondisi ini menegaskan bahwa pernyataan Mentan Amran tidak keliru dari sisi data, tetapi konteksnya yang dianggap tidak relevan dengan Indonesia.
Pendapatan per kapita Jepang memang jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia.
Menurut data Bank Dunia terbaru, pendapatan per kapita Jepang mencapai USD 39.000 per tahun.
Di sisi lain, pendapatan Indonesia masih berada di kisaran USD 4.000-5.000 per tahun.
Jika dihitung, harga beras Rp100 ribu per kilogram di Jepang hanya setara 2-3 persen dari pendapatan harian warga mereka.
Sementara harga beras Rp15-16 ribu per kilogram di Indonesia bisa menyerap porsi cukup besar dari pendapatan masyarakat kelas menengah ke bawah.

Perbedaan ini membuat perbandingan yang dilakukan Mentan Amran dipandang kurang adil bagi masyarakat Indonesia.
Untuk memahami konteks lebih jauh, perlu melihat standar upah minimum di Jepang yang dikenal dengan sebutan minimum wage.
UMR di Jepang dihitung per jam dan berbeda di setiap prefektur.
Rata-rata upah minimum nasional pada 2024 tercatat 1.054 yen per jam atau sekitar Rp116 ribu.
Tokyo menjadi wilayah dengan upah minimum tertinggi, yakni 1.163 yen per jam atau sekitar Rp128.471.
Jika dikalkulasi bulanan dengan asumsi 40 jam kerja per minggu, maka pekerja di Tokyo bisa mengantongi sekitar Rp20,5 juta.
Prefektur Kanagawa memiliki upah minimum 1.162 yen per jam atau Rp128.361.
Sementara di Osaka, upah minimum per jam mencapai 1.114 yen atau sekitar Rp123.097.
Prefektur dengan upah minimum terendah adalah Tottori dengan 900 yen per jam atau sekitar Rp99.450.
Dengan rata-rata upah sebesar itu, harga beras Rp100 ribu per kilogram di Jepang tentu tidak terlalu membebani daya beli masyarakat.
Kondisi ini berbeda jauh dengan Indonesia yang UMR bulanannya masih di kisaran Rp3-5 juta tergantung daerah.
Kontributor : Chusnul Chotimah