Namun, pengakuannya tentang nilai ijazah yang pas-pasan ini membuka sisi lain dari dirinya: bahwa di balik citra 'Sultan' yang ia bangun, ada seorang anak muda yang mungkin lebih unggul di lapangan basket daripada di kelas matematika.
Pengakuan ini seolah menjadi pesan, terutama bagi generasi muda, bahwa jalan menuju sukses tidak hanya melalui pintu akademis.
Namun, di sisi lain, ini juga memicu kritik. Sebagian publik berpendapat bahwa sebagai seorang legislator yang merumuskan undang-undang, kapasitas intelektual dan akademis tetaplah penting.
Momen Refleksi di Titik Terendah?
Pengakuan ini datang di saat Sahroni berada di titik terendah dalam karier politiknya. Setelah kehilangan jabatan dan kekuasaan, ia tampak lebih bebas dan tanpa filter di media sosial.
Apakah ini sebuah strategi untuk membangun kembali citranya sebagai sosok yang otentik dan merakyat?
Ataukah ini murni sebuah momen refleksi dari seseorang yang telah kehilangan segalanya dan tidak lagi merasa perlu menjaga citra?
Apapun alasannya, pengakuan ini berhasil membuat publik kembali membicarakannya, bukan lagi sebagai politisi yang jatuh, tetapi sebagai manusia dengan masa lalu yang tak terduga.
Bagaimana pendapat Anda? Apakah nilai akademis yang buruk relevan untuk menilai kinerja seorang pejabat publik?
Baca Juga: Pencabutan Artikel 'Ahmad Sahroni Panik! Cari Tas LV...'
Atau kisah Sahroni membuktikan bahwa sukses bisa diraih lewat jalan lain? Diskusikan di kolom komentar!