Suara.com - Di tengah hiruk pikuk tudingan 'makar' dan isu aksi demonstrasi ditunggangi, Aliansi Jogja Memanggil kembali menyuarakan keresahannya di Bundaran UGM, Senin (1/9/2025).
Namun, kali ini sorotan tajam tak hanya mengarah pada brutalitas aparat atau carut marut kebijakan.
Lebih dari itu, pertanyaan besar menggantung: mengapa negara hanya bisa menebar isu tanpa pernah berani mengungkap siapa dalang sebenarnya di balik tudingan 'penunggang' aksi?
Pernyataan Prabowo Subianto sehari sebelumnya yang mengindikasikan adanya dugaan tindakan makar seolah menjadi pelatuk.
Namun, bagi Pakar Hukum Tata Negara UGM, Zainal Arifin Mochtar atau akrab disapa Uceng, retorika semacam itu hanya pengalihan isu semata.
Ia dengan tegas menyatakan, aksi massa tidak boleh berhenti.
"Aksi ini harus tetap dilakukan, karena enggak boleh enggak. Kalau tekanan ini menurun, maka maksud perubahan yang kita dorong itu kan bisa hilang," tegas Uceng Senin.
Pemerintah Tahu, Tapi Memilih Abai?

Uceng menyoroti ironi yang terus berulang: tudingan aksi ditunggangi bukanlah hal baru, namun negara sendiri tak pernah serius mencari dan menindak oknum tersebut.
Baca Juga: Dulu Dukung 02 Habis-habisan, Desta Kini Berani Kritik Prabowo: Saya Tidak Bisa Diam
"Kita sebenarnya tahu hampir semua demo, enggak ada yang enggak ditunggangi. Kalau soal penunggang, dan negara enggak pernah cari penunggangnya. Ujug-ujug mengatakan bahwa jangan demo karena ada yang tunggangin," ungkapnya lugas.
Pernyataan ini bukan sekadar observasi, melainkan sebuah kritik telak terhadap absennya tanggung jawab negara.
Jika memang ada "penunggang", mengapa pemerintah tidak bertindak?
Bukankah itu justru menjadi kewajiban negara untuk melindungi demokrasi dan menindak pihak-pihak yang mencoba memanfaatkannya?
Alih-alih mencari dalang, pemerintah justru seolah puas hanya dengan melarang dan menebar kecurigaan, membuat aparat semakin sensitif terhadap setiap gerakan rakyat.
Legitimasi Buruk, Pemerintahan "Abal-abal"
Lebih jauh, Uceng mengurai akar masalah yang jauh lebih dalam.
Gejala seperti buruknya kinerja aparat, lemahnya reformasi birokrasi, dan maraknya kekerasan polisi hanyalah puncak gunung es.
Menurutnya, masalah fundamental ada pada legitimasi pemerintahan yang lemah, lahir dari proses pemilu yang cacat.
"Persoalan ini kan sumber dasarnya menurut saya adalah legitimasi pemerintahan yang lemah. Karena pemilu yang buruk, pemilu yang berengsek itu melahirkan pemerintahan yang abal-abal," tegasnya.
Jika legitimasi pemerintahan rapuh, bagaimana mungkin rakyat percaya pada setiap kebijakan dan penegakan hukum?
Ini menjelaskan mengapa seruan perbaikan harus dimulai dari pucuk pimpinan: presiden, DPR, dan seluruh elemen pemerintahan.
Jangan Sekadar Tebar Isu, Tangkap Pelaku!

Maka, momentum aksi hari ini, menurut Uceng, adalah krusial.
Rakyat tak boleh diam dan membiarkan pemerintah terus-menerus menebar isu tanpa dasar yang jelas.
"Ini momentum, jadi teman-teman harus turun hari ini. Nah enggak boleh, jangan tidak," serunya.
Ia juga mengingatkan pentingnya menjaga aksi tetap damai, namun pada saat yang sama, menuntut negara untuk serius mencari aktor di balik isu penunggang.
"Kita menjaga diri pada saat yang sama negara harus cari penunggangnya dong. Jangan menebar insinuasi ada teror makar, siapa? Kalau bilang ada teror, ada makar, iya siapa pelaku teror, siapa makarnya? Kejar!" tantang Uceng.
Pemerintah tidak bisa lagi berlindung di balik isu 'penunggang' atau 'makar' tanpa tindakan konkret.
Saatnya bagi negara untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan hanya menyebarkan ketakutan dan membungkam suara kritis.
Rakyat menunggu, siapa sebenarnya 'makar' dan 'penunggang' yang selama ini hanya menjadi alat pembungkam?
Atau jangan-jangan, pemerintah sendiri yang takut jika kebenaran terungkap?