- Edi menyangkal penetapan tersangka itu dan menegaskan kalau dirinya hanya menjalankan tugas dari Menteri Sosial tahun 2020, Juliari P Batubara.
- Menurut Edi, program bansos pada masa Covid-19 itu harusnya dilakukan oleh Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial (Linjamsos).
- Edi membeberkan adanya pesan WhatsApp dari Juliari yang dinilainya menguntungkan transporter.
Suara.com - Staf Ahli Menteri Sosial Bidang Perubahan dan Dinamika Sosial, Edi Suharto, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait kasus dugaan korupsi distribusi bansos beras tahun 2020.
Kendati begitu, Edi menyangkal penetapan tersangka itu dan menegaskan kalau dirinya hanya menjalankan tugas dari Menteri Sosial tahun 2020, Juliari P Batubara.
Edi mengungkapkan kalau pada saat itu Juliari memberi perintah kepadanya untuk mendistribusikan bansos beras dari pemerintah, sebagai upaya meringankan beban masyarakat pada masa Pandemi Covid-19.
Edi yang pada masa itu masih menjabat sebagai Dirjen Pemberdayaan Sosial (Dayasos) Kemensos mengaku sempat menolak perintah tersebut.
"Sebenarnya penugasan Pak Juliari ke Dirjen Dayasos ini tidak sesuai dengan tupoksi kami. Saya telah menyampaikan hal itu, keberatan tersebut terhadap penugasan ini," kata Edi dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (2/10/2025).
"Namun Pak Juliari tetap memaksa menugaskan Dayasos dengan alasan pembagian beban tugas dengan Direktur Jenderal yang lain," katanya menambahkan.
Menurut Edi, program bansos pada masa Covid-19 itu harusnya dilakukan oleh Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial (Linjamsos).
Edi juga mengungkapkan kalau Juliari bersikeras menggunakan jasa transporter dalam penyaluran beras itu dari Kemensos.
Menurut Edi, sejak awal ia meminta agar Perum Bulog sekaligus menjadi pihak yang mengurus distribusi bansos hingga ke keluarga penerima manfaat (KPM).
Baca Juga: Lawan KPK di Pengadilan, Kakak Hary Tanoesoedibjo Minta Status Tersangka Digugurkan!
Dayasos, unit yang dipimpinnya, bahkan dua kali mengirim surat resmi kepada Bulog.
"Bulog membalas surat dari Dayasos dan menyampaikan bahwa Bulog hanya mau menyalurkan beras sampai tingkat desa atau kelurahan saja. Pak Juliari bersikeras memerintahkan tetap ingin ada transporter yang menyalurkan beras sampai pada titik bagi di tingkat RT atau RW," tambahnya.
Lebih jauh, Edi juga menyebut keterlibatan PT Dosni Roha Logistik (DNR Logistics) dalam distribusi bansos. Perusahaan itu diketahui memiliki kaitan dengan Juliari, di mana komisaris PT DNR, Rudy Tanoesoedibjo, masih teman dekat mensos era 2020 tersebut.
"Saya tanya pada Pak Juliari saat itu, DNR ini perusahaan apa? Jawab Pak Juliari, 'DNR ini perusahaan milik teman saya'. Sejak saat itu saya tahu, DNR ini adalah milik temannya Pak Juliari," ungkap Edi.
Edi menuturkan, Juliari menetapkan bobot 80 persen untuk harga dan 20 persen untuk penilaian lain dalam proses pemilihan transporter. Ia juga membeberkan adanya pesan WhatsApp dari Juliari yang dinilainya menguntungkan transporter.
“Namun ketika program sudah berjalan, Pak Juliari lagi-lagi dalam pesan singkat, melalui grup WhatsApp pimpinan Kemensos, memerintahkan Pak Sesditjen. Ini bunyinya: 'Pak Sesditjen, tolong aturan terkait pengiriman beras ke KPM agar betul-betul dicermati dengan keadaan lapangan," kata dia.
"Artinya jangan kita buat aturan yang terlalu berat, yang ternyata tidak terlalu realistis diterapkan di lapangan, namun kita buat, akibatnya akan menyulitkan kita sendiri pada saat pemeriksaan',” jelasnya.
Menurut Edi, isi pesan itu pada intinya menginstruksikan aturan yang memberi keuntungan besar bagi transporter dalam menyalurkan beras bansos.
Ia pun menegaskan bahwa seharusnya Juliari yang bertanggung jawab atas dugaan korupsi dalam kasus ini.
"Sesuai dengan apa yang ditegaskan pada pasal 51 ayat 1 KUHP, maka seharusnya yang bertanggung jawab terhadap tindak pidana ini adalah Menteri Sosial pada saat itu, Bapak Juliari Batubara," pungkasnya.