Biar Ada Kepastian Hukum, Aliansi Mahasiswa Minta Qanun Aceh Diakomodir di RUU KUHAP Baru

Rabu, 15 Oktober 2025 | 12:07 WIB
Biar Ada Kepastian Hukum, Aliansi Mahasiswa Minta Qanun Aceh Diakomodir di RUU KUHAP Baru
Perwakilan Aliansi Mahasiswa Nusantara (AMAN), Muhammad Fadli, mendesak Komisi III DPR RI untuk mengakomodasi kekhususan hukum di Provinsi Aceh dalam RUU KUHAP yang baru. (tangkap layar/ist)
Baca 10 detik
  • Fadli juga menyoroti keberlakuan Qanun Jinayah di Aceh yang mengatur hukum syariat.
  • Menurutnya, aparat penegak hukum di Aceh selama ini menggunakan dua mata hukum, yaitu KUHP dan Qanun Jinayah.
  • Mereka meminta adanya kejelasan agar tidak terjadi perbedaan penanganan kasus dengan pasal yang sama.

Suara.com - Perwakilan Aliansi Mahasiswa Nusantara (AMAN), Muhammad Fadli, mendesak Komisi III DPR RI untuk mengakomodasi kekhususan hukum di Provinsi Aceh dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang baru.

Hal tersebut disampaikan Fadli dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait RUU KUHAP di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/10/2025).

Fadli menyoroti Qanun Nomor 9 Tahun 2008 yang mengatur 18 perkara tindak pidana ringan yang dapat diselesaikan melalui lembaga peradilan adat di tingkat desa atau kampung di Aceh.

"Kami menginginkan ini diakomodir dalam RUU KUHAP yang baru," tegas Fadli dalam rapat.

Ia menjelaskan bahwa jika suatu perkara telah diselesaikan di peradilan adat, tidak boleh lagi ada penegakan hukum oleh aparat. Hal ini bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum dan mencegah dualisme penanganan kasus.

Sebagai contoh, Fadli menggambarkan situasi di mana perselisihan ringan seperti ujaran kebencian di tingkat desa yang telah diselesaikan oleh peradilan adat, namun salah satu pihak tetap membuat laporan ke kepolisian.

"Di sini kan konsepnya aparat penegak hukum tidak bisa menolak laporan, tapi di satu sisi lembaga peradilan adat sudah memutuskan, sehingga terjadinya ketidakpastian hukum," jelasnya.

Ia berharap RUU KUHAP dapat secara eksplisit mengatur bahwa penyelesaian di peradilan adat mengikat dan menghentikan proses hukum selanjutnya oleh aparat penegak hukum.

"Ini kan UUD sudah memberikan ruang kekhususan, daerah-daerah tertentu," kata dia.

Baca Juga: Profil dan Rekam Jejak Alimin Ribut Sujono, Pernah Vonis Mati Sambo dan Kini Gagal Jadi Hakim Agung

Selain itu, Fadli juga menyoroti keberlakuan Qanun Jinayah di Aceh yang mengatur hukum syariat, termasuk praktik hukuman cambuk yang tidak berlaku di daerah lain di Indonesia.

Menurutnya, aparat penegak hukum di Aceh selama ini menggunakan dua mata hukum, yaitu KUHP dan Qanun Jinayah.

"Kami ingin Komisi III mengakomodir sebagai kekhususan Aceh bagaimana langkah yang harus diambil oleh aparat penegak hukum ketika terjadi kasus yang memang itu diatur dalam pasal KUHP dan Qanun Jinayah ini," ujar Fadli.

Ia menekankan perlunya kejelasan agar tidak terjadi perbedaan penanganan kasus dengan pasal yang sama, di mana kadang menggunakan Qanun Jinayah, namun di lain waktu menggunakan KUHP.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI