- Amnesty International Indonesia menilai kondisi HAM di bawah satu tahun pemerintahan Prabowo - Gibran mengalami kemunduran paling serius sejak era reformasi.
- Amnesty menyatakan kebijakan populis dan tindakan otoriter pemerintah telah menyebabkan erosi hak-hak dasar warga negara.
- Amnesty mencatat ada remiliterisasi ruang sipil dan pemerintahan, revisi UU TNI, penulisan ulang sejarah, hingga penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional.
Suara.com - Amnesty International Indonesia menilai kondisi hak asasi manusia (HAM) di bawah satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengalami kemunduran paling serius sejak era reformasi. Organisasi tersebut menyatakan, kebijakan populis dan tindakan otoriter pemerintah telah menyebabkan erosi hak-hak dasar warga negara.
“Sejak dilantik 20 Oktober 2024, tidak ada kemajuan berarti untuk hak asasi, baik bebas dari rasa takut maupun dari rasa kekurangan. Sebaliknya, terjadi erosi terparah sepanjang masa reformasi,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (20/10/2025).
Menurut Amnesty, kebijakan yang dibuat selama setahun terakhir bersifat populis dan tidak partisipatif. Pemerintah, kata Amnesty, cenderung baru mau berdialog ketika protes meluas atau korban telah jatuh.
Remiliterisasi, Ketimpangan Ekonomi, dan Kekerasan Aparat
Di sektor politik, Amnesty mencatat adanya remiliterisasi ruang sipil dan pemerintahan, revisi Undang-Undang TNI, penulisan ulang sejarah, penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional, hingga terbitnya Peraturan Kapolri.
Sementara di sektor ekonomi, kebijakan seperti resentralisasi kekuasaan, proyek strategis nasional (PSN), program makan bergizi gratis (MBG), pemotongan transfer ke daerah (TKD), dan kenaikan fasilitas anggota parlemen dianggap memperkuat ketimpangan.
Amnesty juga menyoroti kekerasan aparat dalam berbagai aksi unjuk rasa sepanjang tahun 2025. Sebanyak 5.538 orang tercatat menjadi korban akibat penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat. Rinciannya, 4.453 orang ditangkap, 744 mengalami kekerasan fisik, dan 341 menjadi korban penggunaan water canon dan gas air mata dalam demonstrasi menolak revisi UU TNI (Maret), aksi buruh (Mei), dan protes kenaikan tunjangan DPR (Agustus).
Kriminalisasi Aktivis dan Respon Pemerintah terhadap Kritik
Pasca demonstrasi Agustus 2025, Amnesty mencatat 12 aktivis ditahan sebagai tersangka penghasutan, sementara dua orang masih hilang. Negara juga dinilai tidak serius mengusut 10 korban jiwa dalam peristiwa tersebut.
Baca Juga: Setahun Prabowo-Gibran: Mahasiswa UI Geruduk Patung Kuda, Ini 8 Tuntutan 'Asta Cita Rakyat'
“Tim Gabungan Pencari Fakta juga batal dibentuk. Padahal itu amat penting untuk membongkar aktor yang paling bertanggung jawab. Komite Reformasi Polri juga menguap,” ujar Usman.
Amnesty menilai pemerintah justru merespons kritik publik dengan pelabelan negatif terhadap demonstran.
“Bukannya mengevaluasi kebijakan, termasuk memastikan akuntabilitas polisi, Presiden malah memunculkan label negatif ‘anarkis’, ‘makar’, ‘asing’, bahkan ‘teroris’ kepada pengunjuk rasa. Padahal mereka adalah mahasiswa, pelajar sekolah, pegiat literasi, dan warga biasa,” kata Usman.
Amnesty juga menyoroti terbitnya Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan terhadap Polri yang dinilai memberi keleluasaan berlebih bagi aparat dalam penggunaan senjata api.
Menurut Amnesty, perkembangan ini menunjukkan lemahnya komitmen pemerintahan Prabowo-Gibran terhadap prinsip-prinsip HAM dan partisipasi warga dalam proses kebijakan publik.