- Tahun 2025 ditandai krisis ekologis (banjir, longsor) dan peningkatan represi aparat, menciptakan dampak sosial luas.
- Bencana ekologis seperti di Aceh dan Morowali Utara disebut konsekuensi perusakan lingkungan serta tata kelola buruk.
- Aparat negara, didominasi kepolisian, melakukan 104 serangan terhadap Pembela HAM sepanjang paruh pertama 2025.
Suara.com - Tahun 2025 mencatat rangkaian krisis ekologis mematikan yang berlangsung bersamaan dengan meningkatnya represi aparat.
Menurut Juru Kampanye Laut Bidang Hukum dan HAM Greenpeace Indonesia, Fildza Nabila, kombinasi keduanya menciptakan badai sempurna yang merenggut nyawa dan membungkam suara publik.
Fildza menilai banjir dan longsor yang melumpuhkan Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat di penghujung tahun bukan sekadar bencana alam. Ia menyebut krisis tersebut sebagai konsekuensi dari perusakan lingkungan dan buruknya tata kelola.
Perusakan lingkungan itu juga terjadi bersamaan dengan eskalasi konflik. Bentrokan di konsesi Toba Pulp Lestari (TPL) pada September 2025 disebut sebagai bukti bagaimana korporasi bersama aparat terus mendesak ruang hidup masyarakat adat, memunculkan bencana sosial di tengah bencana ekologis.
“Ketika ekosistem rusak, kapasitas daerah terbatas, dan pemerintah abai, ratusan jiwa hilang, desa-desa terisolasi, infrastruktur vital lumpuh, dan ratusan ribu orang terpaksa mengungsi, tanpa akses memadai terhadap air bersih, listrik, layanan kesehatan, serta bantuan darurat,” kata Fildza dalam keterangannya, Kamis (11/12/2025).
Bencana ekologis serupa juga terjadi di wilayah pertambangan lain. Pada Januari, banjir melanda Morowali Utara, disusul banjir di Halmahera Tengah pada Juli.
Menurut Fildza, peristiwa tersebut menunjukkan kerusakan lingkungan sebagai pemicu utama.
Di tengah krisis lingkungan itu, Greenpeace menilai kalau represi negara terhadap suara kritis juga semakin intens.
Amnesty International mencatat 104 Pembela HAM menjadi korban serangan sepanjang paruh pertama 2025, dengan kepolisian sebagai aktor negara yang paling dominan. Korban mencakup mahasiswa, masyarakat adat, hingga jurnalis.
Baca Juga: Waspada Bencana di Selatan Jawa Hingga NTT Akibat Cuaca Ekstrem 'Siklon Senyar'
Teror terhadap jurnalisme terjadi pada Maret, ketika kantor redaksi Tempo dikirimi paket berisi bangkai kepala babi dan tikus.
Kekerasan lebih fatal menimpa jurnalis Rico Sempurna Pasaribu yang tewas dibakar di rumahnya di Kabanjahe setelah mengungkap praktik kejahatan yang melibatkan aparat.
![KLH tidak mengenyampingkan potensi pidana terhadap perusahaan-perusahaan yang diduga memperparah banjir Sumatera Utara. Foto: Masjid ambruk disapu banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). [Antara]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/12/10/21480-banjir-sumatera-batang-toru.jpg)
Kekerasan aparat terus berlanjut hingga akhir tahun, ditandai dengan insiden penembakan lima petani di Bengkulu pada November 2025 dan serangan drone di Yahukimo, Papua, yang menambah daftar panjang korban sipil.
Data KontraS mempertegas situasi itu dengan catatan 602 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh Polri hingga pertengahan tahun, termasuk puluhan kasus pembunuhan di luar hukum.
Angka ini sejalan dengan tren pengaduan ke Komnas HAM sepanjang 2025, di mana Polri secara konsisten menjadi institusi yang paling banyak diadukan oleh masyarakat (712 aduan), menunjukkan tidak adanya perbaikan kultur kekerasan di tubuh kepolisian.
Fildza memaparkan represi ini terjadi secara merata dari barat hingga timur Indonesia. Di Aceh, trauma konflik masa lalu dihidupkan kembali lewat pembangunan empat batalyon baru yang dinilai berlebihan.