- Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR menghadirkan ahli sosiologi Trubus Rahardiansyah sebagai saksi dalam kasus dugaan pelanggaran etik lima anggota DPR.
- Trubus menilai pernyataan Ahmad Sahroni soal “tolol” tidak mengandung ujaran kebencian, melainkan salah tafsir akibat manipulasi informasi di dunia digital.
- Dalam sidang yang sama, pakar analisis perilaku Gustia Aju Dewi juga menyoroti fenomena disinformasi yang kerap memotong konteks dan membentuk persepsi publik yang menyesatkan.
Suara.com - Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI terkait dugaan pelanggaran etik lima anggota DPR nonaktif hari ini menghadirkan ahli sosiologi, Trubus Rahardiansyah, sebagai saksi.
Usai ditanya oleh anggota MKD DPR, Habiburokhman dalam sidang, Trubus memberikan pandangannya mengenai konteks pernyataan salah satu teradu, Ahmad Sahroni, dan secara umum menyoroti bahaya manipulasi informasi di era digital.
Trubus Rahardiansyah menjelaskan, dalam sosiologi dikenal istilah setting dan konteks.
"Setting itu situasi yang terjadi saat itu jadi situasi yang melatarbelakanginya kemudian konteks adalah di mana istilahnya lokus tempat itu disampaikan pada siapa disampaikan," ujar Trubus dalam sidang MKD di Ruang MKD, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (3/11/2025).
Menurut analisis Trubus, pernyataan Ahmad Sahroni yang menjadi polemik, termasuk penggunaan kata 'tolol' yang viral, sebenarnya tidak ditujukan untuk menyinggung pihak mana pun.
"Kalau saya lihat apa yang disampaikan Pak Ahmad Sahroni itu tidak nyinggung satu apa pun karena walaupun di situ ada kata tolol yang diramaikan itu yang diviralkan itu menurut saya lebih kepada menyampaikan tidak mungkin DPR dibubarkan karena sistemnya bukan sistem parlementer kita kan sistemnya non parlementer," jelasnya.
Trubus menegaskan bahwa inti pernyataan Sahroni adalah menjelaskan perbedaan sistem pemerintahan Indonesia dengan negara lain.
"Ini kan sebenarnya arahnya ke sana tapi kemudian dipahami oleh pihak lain, karena itu tadi manipulasi namanya society 5.0 ada resiko itu manipulasi itu jadi manipulasi makanya di pasal 35 UU ITE itu dilarang orang memanipulasi ubah-ubah itu. Nah sehingga menurut saya ini penjelasan yang clear terkait dengan DPR itu tidak bisa dibubarkan kenapa karena kita memang sistemnya berbeda dengan negara-negara yang menganut non parlementer," paparnya.
Lebih lanjut, Trubus berpendapat bahwa ucapan Sahroni tidak termasuk kategori kriminal maupun ujaran kebencian.
Baca Juga: Menunggu Nasib Lima Anggota DPR Nonaktif di Tangan MKD, Hati-hati Publik Marah Bila...
"Apa yang disampaikan Pak Ahmad Sahroni bukan suatu ucapan yang kriminal atau bukan pula ujaran kebencian juga bukan. Karena ujaran kebencian itu mengungkapkan perasaan kalau di pasal 156 KUHP itu kan mengungkapkan rasa itu enggak ada rasa yang disampaikan itu hanya ekspresi saja sebagai orang," pungkasnya.
Senada dengan pandangan Trubus mengenai manipulasi informasi, sebelumnya dalam sidang yang sama, Gustia Aju Dewi, pakar analisis perilaku, juga menilai bahwa saat ini potongan-potongan informasi digunakan untuk membentuk persepsi publik yang keliru.
“Zaman sekarang perang bukan lagi dengan senjata api, tapi senjatanya informasi yang diselewengkan, bisa dipotong. Jadi 90% kebenaran itu bukan kebenaran, karena ada 10% yang tidak dimasukkan sehingga informasi tersebut menjadi disinformasi,” ungkap Gustia Aju.
Gustia juga menegaskan bahwa para penyebar Disinformasi, Fitnah, dan Kebencian (DFK) dapat dilacak dengan teknologi digital forensik.
“Siapa yang menggulirkan sampai sekarang belum terungkap. Sebenarnya dengan teknologi AI itu mudah dilakukan digital forensik, Yang Mulia, untuk ditelusuri siapa yang pertamakali mengeluarkan narasi-narasi DFK,” terangnya.