Komisi I DPR Usul Indonesia Tiru Kebijakan China, Influencer Harus Punya Sertifikat Profesi

Rabu, 12 November 2025 | 11:32 WIB
Komisi I DPR Usul Indonesia Tiru Kebijakan China, Influencer Harus Punya Sertifikat Profesi
Ilustrasi influencer (Pexels.com/@ivan-samkov)
Baca 10 detik
  • Para influencer bisa diwajibkan memiliki gelar resmi atau sertifikat profesional sebelum membuat konten di media sosial.
  • Pemerintah Indonesia bisa menerapkan langkah yang sama mengingat masih begitu bebasnya dunia media sosial di tanah air.
  • Ia menilai pemerintah Indonesia bisa menerapkan langkah yang sama mengingat masih begitu bebasnya dunia media sosial di tanah air.

Suara.com - Anggota Komisi I DPR RI, Taufiq R Abdullah, menilai pemerintah Indonesia seharusnya belajar apa yang dilakukan oleh China dalam mengatur influencer di media sosial.

Menurutnya, para influencer bisa diwajibkan memiliki gelar resmi atau sertifikat profesional sebelum membuat konten di media sosial.

“Dominasi media sosial sebagai sumber informasi di ruang publik patut diwaspadai bersama. Langkah China mewajibkan influencer atau content creator memiliki sertifikat resmi untuk bidang tertentu seperti hukum, keuangan, pendidikan, dan kesehatan bisa menjadi pelajaran baik bagi pemerintah dalam menata ekosistem media sosial di tanah air,” ujar Taufik kepada wartawan, Rabu (12/11/2025).

Taufik mengatakan, pesatnya perkembangan media sosial memang memunculkan banyak profesi baru. Di antaranya content creator, youtuber, podcaster, hinggga pemengaruh (influencer).

Masalahnya di dalam banyak kasus, netizen menyukai influencer bukan hanya karena keahlian atau background pendidikan tetapi karena tampilan dan gimmick.

“Situasi ini membuat banyak influencer tanpa sertifikat profesional atau keahlian memadai bisa membuat konten sesuka hati yang bisa menyesatkan follower atau viewer konten mereka,” katanya.

Ia pun mencontohkan dalam heboh kasus pesantren beberapa waktu lalu di mana banyak pemengaruh tanpa background jelas memberikan analisa terhadap model pengelolaan pesantren.

Akibatnya diskursus yang muncul bukan mencerahkan malah membuka ruang perpecahan di mana pembela dan pencela pesantren saling hujat di media sosial.

“Tak hanya tentang pesantren, misalnya, ketika ada wabah penyakit tertentu, muncul influencer yang membuat konten kesehatan tanpa dasar medis. Akibatnya, muncul informasi keliru tentang gejala, cara pengobatan, sehingga rentan menimbulkan kepanikan publik,” jelasnya.

Baca Juga: Honda dan Toyota Mulai Berpaling dari China, India Jadi Tujuan

Ilustrasi Content Creator. (pixabay.com/Lukas Bieri)
Ilustrasi Content Creator. (pixabay.com/Lukas Bieri)

Menurutnya, langkah Cyberspace Administration of China (CAC) menerapkan regulasi ketat bagii influencer merupakan bentuk kehadiran negara untuk melindungi masyarakat dari berbagai informasi menyesatkan.

Ia menilai pemerintah Indonesia bisa menerapkan langkah yang sama mengingat masih begitu bebasnya dunia media sosial di tanah air.

“Memang diperlukan regulasi yang bisa memproteksi masyarakat dari pengaruh informasi yang tidak sehat. Perlindungan terhadap publik dari konten sampah atau tidak bermutu adalah bentuk nyata tanggung jawab negara terhadap literasi digital warganya,” ujarnya.

Ia menegaskan pengaturan terhadap media sosial bukanlah bentuk pembatasan terhadap kebebasan ekspresi.

Lebih dari itu pengaturan media sosial justru memastikan sumber informasi bisa terkurasi dengan baik sehingga tercipta ekosistem sehat bagi content creator maupun masyarakat sebagai penikmat medsos.

“ Langkah ini juga dapat memperkuat ekosistem literasi digital nasional, memastikan bahwa ruang digital Indonesia tidak dipenuhi oleh“konten sampah” yang hanya mengejar sensasi tanpa nilai pengetahuan memadai,” pungkasnya.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI