-
Halim Kalla, adik Jusuf Kalla, diperiksa sebagai tersangka kasus korupsi proyek PLTU.
-
Kasus ini terkait proyek PLTU mangkrak yang diduga diatur sejak proses lelang.
-
Akibat perbuatannya, negara diperkirakan mengalami kerugian hingga mencapai Rp1,35 triliun.
Suara.com - Kortas Tipidkor Polri hari ini menjadwalkan pemeriksaan terhadap Presiden Direktur PT BRN, Halim Kalla, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat. Pemeriksaan terhadap adik Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla itu dijadwalkan ulang setelah sebelumnya ditunda karena alasan sakit.
Direktur Penindakan Kortas Tipidkor Polri, Brigjen Totok Suharyanto, mengonfirmasi bahwa pemeriksaan adik JK, Halim Kalla selaku Presiden Direktur PT BRN dilakukan hari ini.
"Pemeriksaan sesuai jadwal pukul 10.00 WIB," kata Totok saat dikonfirmasi Suara.com, Kamis (20/11/2024).
Dalam kasus ini, Kortas Tipidkor Polri telah menetapkan empat tersangka, yaitu:
- Fahmi Mochtar, Direktur PLN periode 2008–2009.
- Halim Kalla, Presiden Direktur PT BRN.
- RR, Direktur Utama PT BRN.
- Hartanto Yohanes Lim (HYL), Direktur Utama PT Praba.
Kakortas Tipidkor Polri, Irjen Cahyono Wibowo, sebelumnya menyatakan bahwa para tersangka tidak ditahan namun telah dicegah bepergian ke luar negeri.
Kronologi Proyek Mangkrak
Kasus ini bermula dari lelang ulang proyek pembangunan PLTU 1 Kalbar pada 2008. Penyidik menemukan adanya permufakatan jahat antara pejabat PLN dan PT BRN untuk memenangkan tender, meskipun konsorsium yang diajukan tidak memenuhi syarat.
"Pada 2009, sebelum kontrak ditandatangani, KSO BRN mengalihkan pekerjaan kepada PT PI dengan kesepakatan pemberian imbalan (fee)," ujar Cahyono dalam konferensi pers pada 6 Oktober 2024 lalu.
Meskipun kontrak telah berjalan, proyek tersebut tidak pernah selesai. Setelah 10 kali perpanjangan hingga 31 Desember 2018, pekerjaan baru mencapai 85,56 persen dan akhirnya mangkrak.
Baca Juga: Kasus Pencemaran Nama Baik, Berkas Perkara Selebgram Lisa Mariana Dilimpahkan ke Jaksa
PLN diketahui telah membayar Rp323,1 miliar dan USD 62,4 juta, namun PLTU tersebut tidak dapat dimanfaatkan. "Sebagian besar kondisi bangunan dan peralatan terbengkalai, rusak, dan berkarat. Total kerugian keuangan negara dengan kurs sekarang mencapai Rp1,35 triliun," beber Cahyono.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 dan/atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.