Remaja Perempuan Usia 15-24 Tahun Paling Rentan Jadi Korban Kekerasan Digital, Kenapa?

Dwi Bowo Raharjo Suara.Com
Jum'at, 21 November 2025 | 06:15 WIB
Remaja Perempuan Usia 15-24 Tahun Paling Rentan Jadi Korban Kekerasan Digital, Kenapa?
UNFPA Indonesia Assistant Representative, Verania Andrian, dalam acara Press Briefing UNiTE to End Digital Violence Against All Women and Girls di Kantor PBB Indonesia, Jakarta, Kamis (20/11/2025). (Foto dok. Ist)
Baca 10 detik
  • UNFPA Indonesia menyatakan remaja 15-24 tahun mendominasi korban kekerasan berbasis gender online (KBGO).
  • Dampak kekerasan digital meluas dari dunia maya ke trauma psikologis dan fisik nyata di kehidupan sehari-hari.
  • Korban enggan melapor karena stigma, ketakutan pembatasan, dan minimnya literasi digital orang tua.

Suara.com - Remaja perempuan dinilai menjadi kelompok paling rentan dalam ekosistem digital saat ini. United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia mengungkapkan bahwa kelompok usia 15-24 tahun mendominasi statistik korban kekerasan berbasis gender online (KBGO), sebuah fenomena yang diperburuk oleh stigma sosial dan kurangnya literasi digital orang tua.

Hal tersebut disampaikan oleh UNFPA Indonesia Assistant Representative, Verania Andrian, dalam acara Press Briefing UNiTE to End Digital Violence Against All Women and Girls di Kantor PBB Indonesia, Jakarta, Kamis (20/11/2025).

Verania membuka pemaparannya dengan mengajak publik memahami realitas kekerasan di dunia maya.

"Apasih kekerasan digital itu? jenis-jenis kekerasa digital juga berbagai bentuk," ujar Verania.

Ia menegaskan bahwa dari berbagai bentuk tersebut, perempuan menjadi kelompok yang paling dirugikan.

"Kekerasan digital ini yang terjadi dan dominannya adalah kekerasan seksual dan korbannya adalah perempuan," jelasnya.

Berdasarkan data survei tahun 2024, Verania menyoroti kelompok usia muda yang menjadi korban dominan.

"Anak perempuan usia 15-24 tahun, kalau kita lihat data yang tadi, tentang survei pengalaman hidup perempuan di Indonesia 2024," sebutnya.

Menurut Verania, ancaman ini memiliki konsekuensi nyata. Masalah yang bermula dari layar gawai sering kali bermanifestasi menjadi dampak fisik dan psikologis yang serius.

Baca Juga: Menstruasi Tidak Teratur? Ini Tanda PCOS yang Perempuan Wajib Kenali!

"Dampak negatif seolah-olah masalahnya ada di digital, jadi dampak negatif kekerasan digital itu bukan hanya di virtual tapi juga bisa di dunia nyata," paparnya.

Ia memberi contoh kasus pelanggaran privasi di ruang publik yang kini marak terjadi.

"Katanya kemarin gak usah foto-foto yang sensual badan, karena privasi ketika orang pada lari-lari terus ada fotografer, itu jadi masalah," tuturnya.

Dampak psikologis menjadi perhatian utama UNFPA, mengingat penyebaran konten berbahaya bisa memicu trauma mendalam.

"Kekerasan digital ini bahkan kalau misalnya lebih jauh lagi ada trauma psikologis, tidak jarang kita melihat ada gerakan-gerakan yang menyebarkan kebencian," tambah Verania.

Risiko ini meningkat tajam pada remaja perempuan karena fase perkembangan psikologis yang mereka alami.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI