- Peneliti ICW Wana Alamsyah menyebut Prabowo intervensi penanganan korupsi ASDP dengan rehabilitasi tiga terdakwa, 25 November 2025.
- Intervensi presiden ini dianggap melemahkan yudikatif karena kasus tersebut belum berkekuatan hukum tetap (inkracht).
- ICW mendesak presiden menghentikan intervensi dan DPR membatasi hak prerogatif presiden melalui revisi UU.
Suara.com - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah menyebut bahwa Presiden Prabowo Subianto terlalu melakukan intervensi dalam penanganan perkara dugaan korupsi pada proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh ASDP.
Hal itu dia sampaikan dalam menanggapi rehabilitasi yang diberikan Prabowo kepada tiga terdakwa dalam perkara itu, yaitu Eks Direktur Utama ASDP Ira Puspadewi, Mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Harry Muhammad Adhi Caksono, dan Eks Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Muhammad Yusuf Hadi.
Wana menjelaskan bahwa pemberian ini adalah ketiga kalinya Presiden Prabowo melakukan intervensi terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi setelah memberikan abolisi terhadap Thomas Trikasih Lembong dan amnesti terhadap Hasto Kristiyanto yang semua perkaranya bahkan dinyatakan inkrah.
“Intervensi Presiden terhadap putusan pengadilan merupakan bentuk pelemahan terhadap lembaga yudikatif dan pengabaian terhadap prinsip pemisahan cabang kekuasaan. Terlebih, kasus ini masih belum inkracht atau berkekuatan hukum tetap,” kata Wana dalam keterangannya, dikutip pada Jumat (27/11/2025).
Menurut dia, pemberian rehabilitasi diberikan pada 25 November 2025 atau 5 hari setelah putusan dibacakan. Dia mengatakan intervensi ini jelas mengaburkan hak-hak tersebut dan mencederai prinsip independensi peradilan.
Wana menilai jika praktik pemberian grasi, amnesti, rehabilitasi, dan abolisi yang dilakukan tanpa standar transparansi dan akuntabilitas dibiarkan berlanjut, relevansi institusi peradilan banding dan kasasi akan kian terkikis.
“Dalam institusi peradilan seharusnya Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung diposisikan sebagai ruang koreksi yuridis untuk menguji ketepatan pertimbangan hukum pengadilan yang berada di bawahnya. Jika aktor-aktor yang berkepentingan lebih memilih menunggu ‘ampunan politik’ daripada menempuh jalur hukum, fungsi korektif yudikatif akan menjadi tidak berarti,” tutur Wana.
Bahkan, lanjut dia, esensi dari pertimbangan ‘putusan lepas’ yang menjadi bentuk pengujian perkara paling independen, bisa kehilangan bobotnya. Padahal, dia menilai jalur hukum berupa banding hingga peninjauan kembali jelas akan lebih transparan dan akuntabel dibanding penggunaan hak prerogatif presiden yang tak jelas standarnya.
Dengan begitu, nantinya pihak terdakwa bisa hanya membangun narasi belas kasih kepada presiden, membingkai ‘peradilan’ oleh media, dan memasarkan kisah sedih setiap kali putusan pengadilan tidak menguntungkan terdakwa.
Baca Juga: Pakar Hukum UGM Ingatkan KPK Soal Kasus ASDP: Pastikan Murni Fraud, Bukan Keputusan Bisnis
Kemudian, Wana menyebut publik akhirnya bisa digiring untuk ikut menekan eksekutif, bukan untuk mengevaluasi argumentasi hukum dan bukti-bukti yang dihadirkan di persidangan. Hal akan menyebabkan pergeseran dari perang hukum menjadi perang narasi.
Preseden ini juga dinilai berpotensi mengacaukan sistem peradilan pidana yang seharusnya mengedepankan objektivitas penanganan perkara. Apabila terdapat suatu kekeliruan penerapan hukum oleh aparat penegak hukum, dengan adanya intervensi ini, maka upaya pembuktian kekeliruan dan perbaikan penegakan hukum akan semakin sulit.
Sebab, lanjut dia, perkara ini menjadi terhenti di tengah jalan dan upaya perbaikan akuntabilitas perkara tidak dapat direalisasikan dengan baik
“Presiden Prabowo berhenti melakukan intervensi penegakan hukum berupa pemberian grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi,” tegas Wana.
“DPR sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif segera membahas UU untuk memberikan batasan bagi Presiden untuk menggunakan haknya yang tertuang dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945,” tandas dia.
Diketahui, Presiden Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada ketiga terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pada proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh ASDP, yaitu Eks Direktur Utama ASDP Ira Puspadewi, Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Harry Muhammad Adhi Caksono, dan eks Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Muhammad Yusuf Hadi.
"Dari hasil komunikasi dengan pihak pemerintah, Alhamdulillah pada hari ini Presiden RI Prabowo Subianto telah menandatangani surat rehabilitasi terhadap tiga nama tersebut," kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Ira Puspadewi dengan hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
Di sisi lain, mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Harry Muhammad Adhi Caksono, dan eks Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Muhammad Yusuf Hadi divonis 4 tahun dan denda senilai Rp 250 juta.
Namun, dalam putusan tersebut, Ketua Majelis Hakim, Sunoto, menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Dia menilai para terdakwa seharusnya divonis bebas.
"Para terdakwa seharusnya dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum atau ontslag," kata Sunoto di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (20/11/2025).