- Anak-anak di Sumatra terdampak bencana dengan masalah kesehatan seperti ISPA, ruam, dan diare akibat sanitasi rusak di posko pengungsian.
- Prioritas penanganan bencana bagi anak harus mencakup kesehatan mental dan dukungan psikososial, mengatasi trauma serta kecemasan yang dialami.
- Pencegahan jangka panjang memerlukan integrasi pendidikan kesiapsiagaan bencana sejak dini, mencontoh sistem pelatihan rutin seperti di Jepang.
Suara.com - Di tengah puing-puing rumah yang hanyut dan bau lumpur yang tak kunjung hilang, anak-anak di Sumatra melewati hari-hari bencana dengan tubuh rapuh dan napas pendek. Di Padang, empat dari ratusan korban jiwa yang ditemukan termasuk anak-anak, angka yang mungkin terlihat kecil di atas kertas, tapi tak pernah kecil bagi ibu yang kini hanya bisa memeluk bekas pakaian anaknya.
Sementara itu, ratusan anak lain masih bertahan di posko-posko pengungsian dari Sumatra Barat hingga Aceh dan Sumatra Utara, menunggu layanan kesehatan yang sempat terputus akibat akses terisolasi berhari-hari.
Tim Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat bagaimana batuk yang tak henti, kulit yang ruam, hingga diare mulai menyerang para korban, terutama anak-anak yang lebih rentan.
Di Langkat, Sumatra Utara, penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) menyerang 55 dari 125 anak yang diperiksa. Di Binjai, 37 anak mengeluhkan sesak napas dan 18 lainnya diare akibat sanitasi yang rusak.
Bahkan di Medan Barat, dari 54 anak yang diperiksa, 43 di antaranya mengalami ISPA. Kondisi itu seolah menandakan betapa udara lembap, kepadatan posko, dan dinginnya malam lebih dulu melukai sebelum trauma sempat mereda.
Gambaran ini sejalan dengan temuan global UNICEF bahwa gangguan layanan kesehatan setelah bencana dapat memperburuk risiko jangka panjang pada anak, dari keterlambatan tumbuh kembang hingga trauma psikologis yang sulit pulih.
Di Sumatra, semua itu kini terlihat nyata di wajah-wajah kecil yang menunggu keadaan kembali aman.

Kenapa Anak Harus Jadi Prioritas dalam Penanganan Bencana?
Di balik statistik dan laporan lapangan, ada satu pesan yang terus diulang para dokter anak bahwa anak bukan sekadar bagian dari kelompok rentan, tapi mereka merupakan kelompok yang paling rentan.
Baca Juga: Cuaca Lagi Labil, Ini Tips Atasi Demam Anak di Rumah
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr Piprim Basarah Yanuarso, menjelaskan bahwa tekanan psikologis pada anak-anak korban bencana sering kali jauh lebih besar dari yang terlihat.
“Anak-anak bisa mengalami trauma, ketakutan, cemas, bahkan mimpi buruk,” ujarnya.
Situasi yang serba tidak pasti, kehilangan rumah, hingga menyaksikan orang tua menangis membuat banyak anak memasuki fase diam, gelisah, atau agresif tanpa mereka pahami.
Perubahan lingkungan yang drastis membuat anak-anak sulit beradaptasi. Di posko pengungsian, mereka tidur berdesakan, makan makanan seadanya, dan tanpa ruang untuk bermain, sesuatu yang bagi anak kecil lebih dari sekadar hiburan, tetapi bagian penting dari proses penyembuhan.
Ia juga menekankan pentingnya menjaga nutrisi, air bersih, dan terutama imunisasi, karena campak dan penyakit menular lain dapat menyebar cepat di tempat pengungsian.
Pendekatan yang Bisa Dicontoh: Dari Ruang Aman Anak hingga Pendidikan Kebencanaan