Cukai Minuman Manis Ditunda, Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kesehatan Anak?

Senin, 15 Desember 2025 | 20:38 WIB
Cukai Minuman Manis Ditunda, Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kesehatan Anak?
Ilustrasi cukai minuman manis. (Suara.com)
Baca 10 detik
  • Pemerintah kembali menunda penerapan cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) meskipun konsumsi gula tinggi mengancam kesehatan.
  • Data menunjukkan mayoritas rumah tangga Indonesia mengonsumsi MBDK, mendorong peningkatan kasus diabetes dan obesitas dini.
  • Penundaan cukai dikritik karena berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi kesehatan hingga Rp 40,6 triliun di masa depan.

"Menkeu Purbaya telah melakukan barter kesehatan anak-anak dan kesehatan publik secara umum, dengan kepentingan ekonomi kalangan industri MBDK. Padahal pengenaan cukai MBDK tidak akan meruntuhkan industri MBDK," kritiknya.

Ia menyebut keputusan ini sebagai ancaman serius terhadap upaya negara mewujudkan bonus demografi dan generasi emas.

Infografis cukai minuman berpemanis. (Suara.com/Aldie)
Infografis cukai minuman berpemanis. (Suara.com/Aldie)

Menunggu Ekonomi Tumbuh, Sementara Gula Terus Mengalir

Alasan pemerintah menunda cukai MBDK karena ekonomi dinilai belum cukup kuat menuai kritik juga dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI). Padahal, sejak 2016, usulan cukai MBDK sudah melalui kajian lintas kementerian dan lembaga, menandai komitmen panjang menuju kebijakan fiskal yang berpihak pada kesehatan publik.

Bagi CISDI, menunda cukai MBDK justru mengabaikan bukti ilmiah yang sudah mapan. Berbagai studi nasional dan internasional menunjukkan cukai minuman manis efektif menurunkan konsumsi gula, faktor risiko utama obesitas, diabetes tipe 2, dan penyakit tidak menular. Lebih dari 106 negara telah menerapkan kebijakan serupa dan berhasil mendorong perubahan perilaku konsumsi masyarakat. 

"Keputusan pemerintah untuk kembali menunda cukai MBDK dengan berpatokan pada target pertumbuhan ekonomi 6 persen sangat disayangkan. Minuman berpemanis bukan kebutuhan pokok dan justru menjadi faktor risiko meningkatnya beban kesehatan jangka panjang," ujar Project Lead for Food Policy CISDI, Nida Adzilah Auliani. 

CISDI menilai kekhawatiran pemerintah soal dampak ekonomi cukai MBDK tidak berdasar. Studi CISDI 2024 justru memperkirakan kenaikan harga minimal 20 persen berpotensi mencegah lebih dari 3,1 juta kasus diabetes. Dari sisi fiskal, negara diperkirakan bisa menghemat Rp 24,9 triliun biaya pengobatan diabetes tipe 2 dan Rp 15,7 triliun kerugian akibat hilangnya produktivitas. 

“Jika ditotal berdasarkan perhitungan Disability-Adjusted Life Years, penundaan cukai minuman manis berpotensi menimbulkan kerugian negara hingga Rp 40,6 triliun,” kata Nida. 

Angka itu belum termasuk dampak ekonomi dari penyakit tidak menular lainnya yang terus mengintai.

Baca Juga: GoTo Bikin Terobosan: Driver Juara Gojek Kini Dapat BPJS Gratis

Infografis dampak kesehatan minuman berpemanis. (Suara.com/Aldie)
Infografis dampak kesehatan minuman berpemanis. (Suara.com/Aldie)

Alternatif Melindungi Generasi Muda Saat Cukai Masih Ditunda

Di tengah penundaan cukai MBDK, ruang kebijakan untuk melindungi generasi muda sejatinya belum sepenuhnya tertutup.

CISDI menilai pemerintah tetap bisa mengambil langkah-langkah sementara guna menahan laju konsumsi gula, terutama di kalangan anak dan remaja. Opsi ini penting agar jeda kebijakan fiskal tidak berubah menjadi jeda perlindungan kesehatan publik.

Salah satu langkah yang dinilai paling mendesak adalah pelabelan kandungan gula yang lebih tegas dan mudah dipahami di bagian depan kemasan. 

"Menerapkan kebijakan pendukung seperti pelabelan gizi depan kemasan dan pelarangan iklan produk tinggi gula, garam, dan lemak," kata Nida.

Bagi CISDI, informasi gizi yang jelas dapat membantu konsumen, termasuk orang tua, membuat keputusan lebih sadar sebelum membeli.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI