- Perpol Nomor 10 Tahun 2025 tentang penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil menuai kritik karena dianggap melanggar konstitusi.
- Akademisi menilai peraturan tersebut bertentangan dengan hierarki perundang-undangan serta Putusan MK Nomor 114 Tahun 2025.
- Fenomena ini dianggap sebagai gejala repolitisasi kepolisian yang memperluas kekuasaan polisi melebihi ranah keamanan.
"Polisi tidak hanya menjaga aturan, tapi ikut memproduksi dan mengagendakan kebijakan sipil. Ini semakin memperluas kekuasaan polisi," katanya.
Menanggapi wacana Kapolri bahwa Perpol ini nantinya akan ditingkatkan menjadi Peraturan Pemerintah (PP) dan bahan revisi UU Polri, Ginting menilai logika tersebut terbalik.
Ia menegaskan kepolisian seharusnya mematuhi hukum yang berlaku saat ini, bukan membuat aturan yang melanggar dengan dalih akan ada revisi di masa depan.
"Lu patuhi dulu dong UU Polisi-mu dan aturan MK. supaya anda bukan jadi lembaga yang mentang-mentang (menabrak hukum),” kritik Ginting.
Ia menambahkan, Perpol ini juga menabrak UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurutnya, tidak semestinya UU ASN dan Putusan MK dipaksa tunduk pada peraturan internal kepolisian.
“Masalah utamanya jelas, peraturan internal kepolisian otomatis bertentangan dengan hierarki perundang-undangan. Ini membahayakan demokrasi karena aparat dengan monopoli kekerasan yang sah ikut mengelola jabatan sipil yang seharusnya diawasi publik," pungkasnya.
Reporter: Tsabita Aulia