- Peneliti UGM merancang hunian sementara (huntara) pascabencana dengan memanfaatkan kayu gelondongan sisa hanyutan banjir.
- Desain huntara berukuran 6x6 meter ini sederhana, dapat dibangun penyintas dalam tiga hari menggunakan teknik bor dan baut.
- Faktor sosial dan budaya lokal diperhitungkan, termasuk tata letak ruang seperti penyesuaian posisi kamar mandi.
Pihaknya kini mendorong pemerintah memiliki sentra pengolahan kayu yang kemudian dapat dikerjakan oleh masyarakat. Harapannya, di setiap desa tersedia minimal mesin gergaji portabel yang mudah digunakan.
“Iya, itu sebenarnya penggergajian dan teknologinya sederhana saja, bisa dilatih,” tandasnya.
Hunian 36 Meter Persegi yang Manusiawi
Sementara itu, peneliti lain, Ikaputra, menilai ukuran huntara 36 meter persegi sudah mencerminkan standar hunian yang layak, bahkan melampaui ketentuan internasional.
Ia menyebut standar minimum hunian darurat PBB hanya 18 meter persegi.
“Sebenarnya standar 36 meter persegi itu sudah cukup bagus, karena di PBB standarnya 18 meter persegi,” ujar Ikaputra.
Ia menjelaskan, dalam satu unit huntara terdapat dua ruang tertutup untuk menjaga privasi, serta ruang lain yang dapat difungsikan secara fleksibel. Hunian ini dinilai cukup untuk satu keluarga inti yang terdiri dari orang tua dan dua anak.
“Ini secara prinsip adalah standar fungsi rumah yang manusiawi,” ucapnya.
Disesuaikan dengan Budaya Lokal
Aspek sosial dan budaya setempat juga menjadi pertimbangan penting dalam desain huntara ini. Hal tersebut disampaikan oleh peneliti lainnya, Ardhya Nareswari.
Ia menyebutkan tata ruang seperti keberadaan teras hingga posisi kamar mandi akan disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat di masing-masing daerah.
Baca Juga: Tembus Jalur Udara, Bantuan 3 Ton Sudah Tiba di Takengon
“Letak kamar mandi, apakah akan berada di dalam modul 36 meter persegi atau di luar modul, juga akan disesuaikan dengan budaya setempat,” kata Nareswari.
Disampaikan Nareswari, di dalam modul huntara terdapat teras sebagai ruang sosial, dua kamar tidur, serta satu ruang besar multifungsi yang dapat digunakan sebagai ruang keluarga atau dapur.
Para ahli juga telah mencoba membangun mock up huntara tersebut di Laboratorium Struktur, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, UGM.
Jika biaya tukang dan sanitasi turut diperhitungkan, total anggaran per unit diperkirakan sekitar Rp15 juta. Namun, kata Nareswari, biaya tersebut dapat ditekan karena kayu yang digunakan sudah tersedia di lokasi bencana.
“Jadi yang kita perlukan hanya proses penggergajian saja,” ucapnya.
UGM berencana memulai proyek percontohan ini di Aceh Tamiang melalui pelatihan langsung kepada masyarakat.