Kayu Hanyutan Banjir Disulap Jadi Rumah, UGM Tawarkan Huntara yang Lebih Manusiawi

Selasa, 23 Desember 2025 | 16:15 WIB
Kayu Hanyutan Banjir Disulap Jadi Rumah, UGM Tawarkan Huntara yang Lebih Manusiawi
Mock up hunian sementara yang dibangun di Laboratorium Struktur, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, UGM, Selasa (23/12/2025).
Baca 10 detik
  • Peneliti UGM merancang hunian sementara (huntara) pascabencana dengan memanfaatkan kayu gelondongan sisa hanyutan banjir.
  • Desain huntara berukuran 6x6 meter ini sederhana, dapat dibangun penyintas dalam tiga hari menggunakan teknik bor dan baut.
  • Faktor sosial dan budaya lokal diperhitungkan, termasuk tata letak ruang seperti penyesuaian posisi kamar mandi.

Suara.com - Upaya pemulihan pascabanjir bandang dan longsor di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh terus dikebut. Salah satu yang menjadi perhatian adalah hunian sementara (huntara) bagi para penyintas.

Tak tinggal diam, para peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) ikut andil memberikan saran dan inovasi bagi pembangunan huntara tersebut.

Terutama dalam hal pemanfaatan kayu gelondongan atau hasil hanyutan banjir.

Para ahli mengembangkan desain huntara yang tak hanya layak huni dan manusiawi, tetapi juga dapat dibangun secara cepat, bahkan oleh para penyintas itu sendiri.

Inovasi Huntara Berbasis Kayu Hanyutan

Salah satu peneliti dari Fakultas Teknik UGM, Ashar Saputra, memaparkan bahwa gagasan utama desain huntara ini adalah memanfaatkan material yang tersedia di lokasi bencana, terutama kayu gelondongan yang terbawa arus banjir.

Kayu-kayu tersebut dapat dirajang menjadi papan dengan ukuran standar agar dapat digunakan secara maksimal tanpa menyisakan limbah.

“Prinsipnya, kita ingin penyintas yang tidak punya tempat tinggal, harus punya tempat tinggal yang manusiawi,” kata Ashar saat ditemui di UGM, Selasa (23/12/2025).

Ashar menyebutkan, ukuran huntara ditetapkan 6 x 6 meter atau setara 36 meter persegi sebagai standar hunian sementara. Kayu dengan berbagai ukuran dan jenis tetap dapat digunakan.

Tidak ada spesifikasi kelas atau jenis kayu tertentu, mengingat desain ini memang tidak ditujukan untuk jangka waktu permanen.

Baca Juga: Tembus Jalur Udara, Bantuan 3 Ton Sudah Tiba di Takengon

“Jadi bebas, enggak ada spesifikasi khusus. Seadanya kayu,” ujarnya.

Teknologi Sederhana, Bisa Dikerjakan Penyintas

Selain memanfaatkan material lokal, teknologi konstruksi yang digunakan juga dibuat sesederhana mungkin. Proses pembangunan tidak memerlukan keahlian pertukangan yang rumit.

Pengerjaan hanya mengandalkan teknik bor dan baut sehingga dapat dipelajari oleh masyarakat awam.

“Saya berpikir begini, membuat rumah yang paling cepat dan paling gampang. Orang yang tidak pernah kenal pertukangan harus bisa,” tuturnya.

Huntara tersebut dirancang agar dapat dibangun langsung di halaman atau bekas rumah penyintas. Jika lokasi tersebut kemudian dinilai tidak aman, bangunan bisa dibongkar atau dipindahkan karena seluruh materialnya berbasis kayu.

Dari segi waktu, pembangunan diproyeksikan hanya memakan waktu sekitar tiga hari dengan melibatkan sedikitnya enam orang.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI