- Jimly Asshiddiqie mendukung gagasan "Reset Indonesia" sebagai penataan ulang sistemik, bukan destruktif, yang sering disalahpahami.
- Kerusuhan publik menunjukkan sumbatan serius pada sistem politik dan penegakan hukum, menuntut kajian ulang UUD 1945.
- Jimly mengusulkan pembahasan perubahan kelima UUD 1945 dimulai tahun 2026–2027 untuk fondasi Indonesia Emas 2045.
Suara.com - Di tengah riuhnya tuntutan publik belakangan ini, sebuah gagasan radikal untuk "mereset" Indonesia justru dibungkam. Namun, pakar hukum tata negara sekaliber Jimly Asshiddiqie justru membela ide tersebut dan mendorongnya sebagai agenda serius yang harus segera dibahas untuk menata ulang fondasi negara.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menyoroti insiden pembubaran diskusi buku yang mengusung gagasan "Reset Indonesia". Menurutnya, publik telah salah kaprah memaknai ide tersebut sebagai sesuatu yang destruktif, padahal esensinya adalah perbaikan sistemik.
“Bahkan ada kalangan aktivis yang menulis buku tentang reset Indonesia. Sayangnya, diskusi buku itu justru dibubarkan. Padahal, yang dimaksud reset itu bukan destruktif, tetapi menata ulang sistem politik, sosial, dan ekonomi kita agar lebih sehat,” kata Jimly dalam sebuah forum dialog di Tangerang, Banten, Rabu (24/12) sebagaimana dilansir Antara.
Jimly menegaskan, seruan untuk mengkaji ulang konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bukan tanpa alasan.
Ia melihat rentetan kerusuhan dan aksi kekerasan yang terjadi beberapa waktu lalu sebagai cerminan akumulasi kemarahan dan kekecewaan publik yang mendalam.
Amarah itu, menurutnya, dipicu oleh adanya sumbatan serius dalam sistem politik dan hukum nasional.
“Yang dibakar bukan hanya kantor polisi, tetapi juga kantor DPRD, bahkan terjadi penjarahan rumah anggota DPR. Ini menunjukkan adanya sumbatan serius dalam saluran aspirasi rakyat. Sistem politik kita harus dikaji ulang,” tutur Jimly sebagaimana dilansir Antara.
Lebih jauh, Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri ini juga menunjuk lemahnya penegakan hukum sebagai biang keladi utama kemarahan rakyat.
Kemurkaan massa terhadap aparat kepolisian, menurutnya, bukanlah sekadar soal keamanan, melainkan soal keadilan yang tak kunjung mereka dapatkan.
Baca Juga: Belajar dari Pembubaran Diskusi Reset Indonesia: Mengapa Ruang Diskusi Perlu Dilindungi
“Polisi itu bagian dari sistem penegakan hukum. Karena mereka berada di garis depan, merekalah yang pertama dimarahi. Padahal persoalannya sampai ke hulu, termasuk dunia kehakiman. Semua ini butuh pembenahan dan penataan ulang,” tegasnya.
Solusi dari semua carut-marut ini, menurut Jimly, harus dimulai dari akarnya, yakni dengan mengevaluasi sistem konstitusi.
Untuk itu, ia mendorong agar Indonesia mulai serius membahas agenda perubahan kelima UUD 1945. Ia bahkan telah memetakan waktu yang ideal untuk memulai agenda besar ini.
“Mulai tahun 2026 dan 2027 adalah momentum yang sangat menentukan. Tahun 2028 sudah terlalu dekat dengan tahun politik sehingga pembahasan perubahan konstitusi akan sulit dilakukan,” ucapnya.
Jimly mengingatkan agar para elite politik, terutama MPR RI dan pimpinan partai, tidak menutup telinga dan ruang diskusi publik terhadap gagasan-gagasan kritis, termasuk ide "Reset Indonesia".
“Kita harus menggerakkan pikiran pimpinan partai politik untuk sungguh-sungguh melakukan tata ulang sistem politik. Jangan sampai diskusi ilmiah justru dilarang,” katanya.