Membangun Proyeksi Demokrasi Indonesia, Mungkinkah?

Dwi Bowo Raharjo Suara.Com
Selasa, 28 Oktober 2025 | 12:44 WIB
Membangun Proyeksi Demokrasi Indonesia, Mungkinkah?
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang Cusdiawan. (Foto dok. pribadi/Suara.com)
Baca 10 detik
  • Hanya dalam rezim demokratis-lah yang memungkinkan bagi kita untuk melakukan interupsi terhadap segala ketidakadilan.
  • Kajian mengenai demokrasi Indonesia menarik perhatian banyak ilmuwan, dan memantik perdebatan ilmiah dalam wacana akademik global.
  • Dari peta akademik yang ada, maka kita akan tahu bahwa analisis struktur kekuasaan akan menemukan relevansinya.

Sementara sebagian lainnya berpendapat bahwa perubahan politik di Indonesia pasca tumbangnya Orde Baru hanya pada level institusional, sementara struktur kekuasaan yang menopangnya tidak mengalami perubahan. Itu artinya, demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang dangkal (illiberal).

Selain itu, ada cara pandang lainnya, di satu sisi mengakui kemajuan demokrasi pasca Soeharto, tapi pada sisi yang lain mengakui masih ada problem struktural yang akut.

Beberapa tahun ke belakang, ada semacam konsensus di kalangan ilmuwan sosial bahwa demokrasi Indonesia mengalami kemunduran (democratic backsliding), terutama di era Joko Widodo. Bila kita berkaca pada lensa komparatif, sebetulnya fenomena kemunduran demokrasi tidak unik hanya terjadi di Indonesia, melainkan terjadi di banyak negara lainnya juga.

Dalam konteks Indonesia, penjelasan kemunduran demokrasi bila hanya berfokus pada self-interest dari aktor politik, maka penjelasannya tidak akan memuaskan.

Dari peta akademik yang ada, maka kita akan tahu bahwa analisis struktur kekuasaan akan menemukan relevansinya. Dalam kondisi demokrasi yang dangkal (illiberal), akan lebih memudahkan bagi aktor politik populis untuk memanipulasi demokrasi dengan memasukkan kepentingan-kepentingan yang bertolak belakang dengan demokrasi.

Hal ini juga berlaku dalam konteks pembacaan kita atas kondisi demokrasi yang berlangsung pada era Prabowo ini, yang saya kira tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dibanding era sebelumnya.

Dalam hemat penulis, era Presiden Jokowi, yang kemudian dilanjutkan di era kepemimpinan hari ini, rezim politik yang bekerja sudah memasuki apa yang disebut oleh Lucan A. Way dan Steven Levitsky dalam The Rise of Competitive Authoritarianism (2002) sebagai otoriterisme kompetitif, saat institusi demokrasi nampak bekerja, tetapi pada sisi yang lain, elite politik memandang demokrasi hanya sebagai instrument untuk meraih kekuasaan, sehingga mereka cenderung melanggar dan melecehkan norma-norma demokrasi.

Hal ini termasuk semakin menipisnya ruang bagi oposisi formal sehingga check and balances tidak bekerja sebagaimana mestinya. Kondisi yang demikian justru kondusif bagi berkembangnya fenomena penggelembungan kekuasaan (executive aggrandisement).

Di era kepemimpinan Prabowo, bahkan sudah bisa kita baca sejak awal dengan gemuknya postur kabinet sebagai konsekuensi dari banyaknya partai politik yang tergabung dalam koalisi pemerintahan. Nampak jelas juga bagaimana pola kepemimpinan akomodatif berbasis patronase yang dipraktikannya.

Baca Juga: PVRI: Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Tanda Kembalinya Bayang-Bayang Orde Baru?

Selain itu, yang paling kentara lagi menyoal rendahnya komitmen elite saat ini terhadap demokrasi adalah pengangkatan Teddy Indra Wijaya yang jelas menuai polemik tajam dari sisi ketatanegaraan. Kondisi-kondisi tersebut hanyalah trajektori dari demokrasi kita yang memang sejal awal illiberal.

Sekali Lagi, Membangun Proyeksi Demokrasi

Betapapun kuatnya penjelasan tesis struktural sebagaimana yang dikembangkan oleh Richard Robison dan Vedi Hadiz dalam menjelaskan perkembangan demokrasi Indonesia, misal dalam Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in Age Markets (2004), tetapi tesis mereka juga mengandung kelemahan. Kelemahan yang banyak disorot oleh kalangan ilmuwan adalah sangat minim memberi porsi bagi kerangka agensi.

Dalam konteks Indonesia, kerangka agensi itu bisa diperkuat dengan membangun gerakan masyarakat sipil yang bersifat inklusif dan berkelanjutan untuk menandingi agenda-agenda politik yang bersifat illiberal. Potensi tersebut lebih dimungkinkan seiring dengan masifnya perkembangan sosial media.

Dalam beberapa kasus, gerakan masyarakat sipil bahkan bisa mengganggu langkah para oligark atau elite yang akan semakin merusak tatanan sosial dan politik kita.

Itu artinya, walau harus kita akui, sangat sulit menghapus oligarki ataupun struktur predatory capitalism, termasuk sulit juga menumbuhkan suatu imaji politik mengenai era “post-oligarchy”, tetapi dengan adanya gerakan inklusif dan berkelanjutan, sekurang-kurangnya bisa mencegah agar kerusakan tidak terjadi semakin parah.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI