Suara.com - Bayangkan sedang asyik bermain ponsel di kursi penumpang mobil, lalu tiba-tiba mendapat surat tilang elektronik. Menggelikan? Memang! Inilah yang terjadi di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, ketika sistem Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) dengan semangatnya "menangkap basah" seorang penumpang BMW yang sedang asik dengan HP-nya.
Kisah ini menjadi viral di media sosial setelah bukti tilang tersebar luas dan diunggah di akun X neVerAl0nely.
Dalam unggahan tersebut memperlihatkan momen yang membuat banyak orang menggelengkan kepala.
Sistem ETLE, yang didesain untuk menertibkan lalu lintas, rupanya belum bisa membedakan mana pengemudi dan mana penumpang.
Pasal 283 jo 106 UU 22 LLAJ pun "dipaksakan" untuk menghukum seseorang yang sebenarnya tidak melanggar aturan apa pun.
Ini bukan kali pertama ETLE menunjukkan sisi lucunya. Sebelumnya, sistem ini pernah menilang ambulans yang sedang dalam misi penyelamatan, bus Transjakarta yang melaju di jalurnya sendiri, bahkan sepeda motor yang sedang diparkir!
Sepertinya, mata elektronik ini terkadang terlalu bersemangat dalam menjalankan tugasnya.
Meski begitu, kita tidak bisa memungkiri bahwa ETLE telah membawa angin segar dalam penegakan hukum lalu lintas.
Sistem ini berhasil mengurangi praktik suap-menyuap yang kerap terjadi dalam tilang konvensional.
Baca Juga: Ambulans Kena Tilang Elektronik? Ini Dia Siasat Jitu agar Tak Terjadi Lagi
Data menunjukkan penurunan signifikan angka pelanggaran lalu lintas sejak sistem ini diterapkan. Namun, kejadian-kejadian menggelitik ini menunjukkan bahwa teknologi canggih pun masih butuh "sekolah" lagi.
Para ahli teknologi dan pembuat kebijakan kini menghadapi tantangan untuk menyempurnakan sistem ini.
Mereka perlu meningkatkan kecerdasan algoritma agar bisa membedakan situasi dengan lebih akurat.
Mungkin diperlukan sensor tambahan atau bahkan kecerdasan buatan yang lebih canggih untuk membuat ETLE lebih "bijaksana" dalam menilai pelanggaran.
Yang menarik, kasus ini membuka diskusi lebih luas tentang peran teknologi dalam kehidupan sehari-hari.
Secanggih apapun, teknologi tetaplah alat bantu yang memiliki keterbatasan. Kadang ia bisa sangat presisi, tapi di waktu lain bisa juga "salah sangka" seperti dalam kasus ini.
Ke depannya, pengembangan ETLE harus lebih memperhatikan aspek keadilan dan akurasi.
Sistem pengaduan dan sanggahan juga perlu dipermudah agar masyarakat yang merasa dirugikan bisa mendapatkan keadilan dengan cepat.
Bagaimanapun, tujuan utama sistem ini adalah menciptakan lalu lintas yang tertib dan aman, bukan malah membuat lelucon yang viral di media sosial.
Kasus yang sempat mengundang gelak tawa ini ternyata menyimpan pelajaran penting bagi kita semua. Di balik kelucuan yang terjadi, tersimpan pesan serius bahwa dalam upaya mengejar kemajuan teknologi, kita tetap harus mengedepankan akal sehat dan nilai-nilai kemanusiaan.
Modernisasi seperti penerapan sistem tilang elektronik atau ETLE (Electronic Traffic Law Enforcement) memang membawa banyak manfaat, seperti efisiensi dan transparansi dalam penegakan hukum lalu lintas.
Namun, teknologi secanggih apa pun tetap membutuhkan sentuhan kebijaksanaan dalam penerapannya.
Jangan sampai sistem yang seharusnya membantu justru menimbulkan kebingungan atau ketidakadilan bagi masyarakat. Kejadian seperti ini menjadi cermin bahwa pembaruan teknologi perlu diiringi dengan evaluasi berkala dan pemahaman mendalam terhadap kondisi sosial di lapangan.
Harapannya, ke depan ETLE dapat berkembang menjadi sistem yang bukan hanya akurat dalam menangkap pelanggaran, tetapi juga adil dan manusiawi dalam menindak.
Semoga hal ini menjadi momentum bagi pihak terkait untuk terus menyempurnakan sistem penegakan hukum digital agar benar-benar memberikan manfaat optimal bagi pengguna jalan dan masyarakat luas. Modern bukan hanya soal teknologi tinggi, tapi juga soal kebijaksanaan dalam menggunakannya.