Suara.com - Isuzu Panther, mobil legendaris yang begitu melekat di hati masyarakat Indonesia.
Dijuluki "Rajanya Diesel", MPV ini punya sejarah panjang dan ketangguhan yang tak perlu diragukan.
Siapa yang tak ingat jargon ikoniknya, "Jakarta-Bali Cuma 44 Ribu", yang menunjukkan betapa iritnya konsumsi bahan bakar mobil ini di masa jayanya?
Namun, sejak Februari 2021, produksi dan penjualan Panther dihentikan selamanya, menandai akhir dari era "Si Kucing" ini.
Meski demikian, Isuzu Panther bekas masih banyak diburu, bahkan harganya cenderung stabil jika unitnya terawat.
Ini menunjukkan betapa kuatnya reputasi mobil ini, terutama di daerah pelosok yang membutuhkan kendaraan tangguh tanpa perawatan ekstra.
Namun, bagi Anda yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, ada baiknya mempertimbangkan beberapa hal penting sebelum memutuskan untuk meminang Isuzu Panther bekas.
Sekilas Perjalanan Isuzu Panther: Dari Pikap hingga MPV Tangguh
![Satu unit Isuzu Panther generasi kedua. Sebagai ilustrasi produk legendaris Panther [Wikipedia].](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/02/10/97102-isuzu-panther.jpg)
Isuzu Panther pertama kali mengaspal di Indonesia pada tahun 1991, awalnya dalam wujud pick up ringan.
Barulah kemudian, PT Pantja Motor (ATPM Isuzu saat itu) menggandeng karoseri untuk mengubahnya menjadi MPV.
Baca Juga: Daftar Harga Isuzu Panther Bekas dari Tahun ke Tahun, Mulai Rp60 Jutaan!
Generasi pertama ini mengusung mesin C233 berkapasitas 2.238 cc 4 silinder indirect injection, menghasilkan tenaga 72 PS dan torsi 140 Nm.
Perubahan signifikan terjadi pada generasi ketiga (1996-2000) dengan mesin 2.500 cc berkode 4JA1 yang lebih efisien dan bertenaga, mampu menyemburkan 79 PS dan torsi 170 Nm.
Mesin ini bahkan tidak lagi memerlukan busi pemanas (glow plug) untuk menyala dalam kondisi dingin.
Konsumsi solarnya pun lebih irit, mencapai 12 kilometer per liter untuk rute dalam kota.
Pada generasi selanjutnya, Panther juga hadir dengan opsi mesin 2.500 cc 4 silinder direct injection turbo dan transmisi otomatis.
Sayangnya, perjalanan Panther terhenti karena tidak mampu memenuhi regulasi standar emisi gas buang Euro 4 yang ditetapkan pemerintah.
Berbeda dengan Toyota Kijang yang terus berinovasi hingga lahirnya Innova Zenix dengan mesin hybrid, Panther harus pamit.
3 Alasan Mengapa Isuzu Panther Bekas Kurang Ideal untuk Kota Besar

Meskipun Isuzu Panther unggul dalam durabilitas, efisiensi bahan bakar diesel subsidi, dan suspensi yang lembut namun tangguh, ada beberapa faktor yang membuatnya kurang cocok sebagai kendaraan utama di kota metropolitan:
1. Harga Bekas yang Masih Terlalu Tinggi
Meskipun sudah discontinue, permintaan pasar terhadap Isuzu Panther bekas tetap tinggi, membuat harganya melambung dan cenderung stabil.
Bayangkan saja, sebuah Panther 2.5 LV transmisi manual tahun 2018 bisa dibanderol sekitar Rp140 juta sampai Rp190 juta-an.
Dengan bujet yang sama, Anda bisa mendapatkan pilihan lain yang lebih modern dan fitur lebih lengkap.
Misalnya, Toyota Kijang Innova diesel bekas tahun 2012 dengan transmisi otomatis, atau bahkan Toyota Fortuner diesel bekas tahun 2012 yang juga bertransmisi matic.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa dari segi value for money, Panther mungkin kalah bersaing di harga tersebut.
2. Fitur yang Terbatas dan Ketinggalan Zaman
Dengan harga bekas yang masih di atas Rp180 juta untuk model-model tahun muda, Anda akan mendapatkan mobil dengan fitur yang sangat terbatas dibandingkan standar mobil modern saat ini.
Panther memang andal, tetapi kenyamanan dan teknologi yang ditawarkan sudah tertinggal jauh.
Di segmen harga yang setara, Anda bisa mendapatkan mobil bekas dengan fitur jauh lebih lengkap, seperti Toyota Sienta, Honda CR-V, atau bahkan Toyota Camry bekas yang menawarkan pengalaman berkendara lebih premium dan canggih.
Konsumen modern di perkotaan biasanya mengutamakan fitur keselamatan aktif, sistem infotainment terintegrasi, dan kenyamanan interior yang lebih baik.
3. Tantangan Ketersediaan Bahan Bakar Diesel Subsidi di Kota Besar
Salah satu alasan utama Panther tidak lagi diproduksi adalah karena mesinnya tidak memenuhi standar emisi Euro 4.
Ini berarti Panther dirancang untuk menenggak BBM bersubsidi jenis Solar.
Namun, di kota-kota besar seperti Jakarta, mencari SPBU Pertamina yang menjual Solar sudah semakin sulit.
Kalaupun ada, pembeliannya seringkali dibatasi atau harus melalui aplikasi tertentu.
Alternatifnya adalah menggunakan Dexlite atau Pertamina Dex, yang harganya jauh lebih mahal.
Penggunaan BBMnon-subsidi secara terus-menerus tentu akan menjadi beban ekonomi yang cukup signifikan bagi pemilik Panther di kota besar.
Isuzu Panther bekas memang memiliki daya tarik tersendiri karena reputasi ketangguhannya.
Namun, bagi Anda yang tinggal di kota besar dan mencari kendaraan untuk mobilitas sehari-hari, Panther mungkin bukan pilihan paling bijak.
Harga yang tinggi, fitur yang ketinggalan zaman, dan kesulitan mendapatkan bahan bakar subsidi di perkotaan dapat menjadi kendala serius.
Panther mungkin lebih cocok sebagai kendaraan cadangan, koleksi nostalgia, atau untuk penggunaan di daerah pelosok yang memang membutuhkan kendaraan tangguh tanpa tuntutan fitur modern dan akses BBM yang lebih fleksibel.
Untuk konsumen di kota besar yang mengutamakan efisiensi, fitur modern, dan kenyamanan, mempertimbangkan opsi lain yang lebih sesuai dengan kebutuhan saat ini akan menjadi langkah yang lebih cerdas.