Beberapa sumber lain menyebutkan bahwa ungkapan minal aidzin wal faizin berasal dari syair yang berkembang pada masa Al-Andalus (wilayah yang kini mencakup Spanyol dan Portugal).
Syair ini dikatakan ditulis oleh Shafiyuddin Al-Huli.
Dalam kitab "Dawawin Asy-Syi’ri al-Arabi ala Marri Al-Ushur" (jilid 19, halaman 182), ungkapan tersebut disebutkan sebagai bagian dari nyanyian yang biasa dibawakan oleh para perempuan saat merayakan hari raya.
Maknanya memang sesuai dengan semangat Idul Fitri, yaitu kembali kepada kesucian setelah sebulan berpuasa dan meraih kemenangan dalam menahan hawa nafsu.
Namun, ketika diadopsi di Indonesia, frasa ini dipendekkan menjadi minal aidzin wal faizin dan seolah mengalami pergeseran makna.
Yang menarik, di Indonesia, ucapan ini hampir selalu diikuti dengan “Mohon maaf lahir dan batin.”
Padahal, jika ditelusuri dari makna aslinya, keduanya tidak memiliki keterkaitan langsung.
Justru di sinilah letak keunikan budaya bangsa ini. Masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan untuk mengaitkan Idul Fitri tidak hanya dengan kemenangan spiritual, tetapi juga dengan rekonsiliasi sosial.
Lebaran menjadi momen yang sangat spesial karena tidak hanya menandai akhir dari bulan Ramadan.
Baca Juga: Arus Balik Lebaran 2025 Apakah Ganjil Genap Berlaku? Cek Jadwal dan Titiknya
Tetapi juga kesempatan untuk memperbaiki hubungan dengan orang-orang di sekitar kita.