“Dia selalu ingin jadi el forzu (si kuat),” kata sang ibu.
Dia mengenal dunia olah raga dari dua kakaknya, Misael dan Michel, yang masing-masing menggeluti dayung dan tinju. Mereka berdua mendorong sang adik agar masuk ring tinju, tetapi Lopez Nunez menyadari gulat adalah panggilan hatinya.
“Begitu seorang pelatih gulat bernama Sergio (Soto) melihatnya, dia langsung tertarik,” kenang sang ibu.
Dia "anak manja, pemarah nan tampan (yang hobi berkelahi)", kata Michel yang meraih medali perunggu tinju Olimpiade Athena 2004, ketika Lopez Nunez finis urutan kelima dalam gulat Olimpiade itu.
Dia dikenal berkemauan kuat tapi periang. Dia berlatih dan tinggal di Havana bersama istri dan kedua anaknya.
Namun pada usia 13, karir dia hampir tamat manakala ayahnya memerintahkan dia berhenti gulat setelah patah tulang tibia dan fibula saat berkompetisi.
Begitu pulih, dia ikut lomba antar sekolah dan sukses meraih dua medali emas dan dua medali perak.
Empat tahun kemudian dia masuk timnas Kuba dalam usia 17 tahun. Sembilan tahun setelah itu dia merebut medali emas Olimpiade pertamanya di Beijing. Lalu di London 2012 dan Rio 2016 di mana dia menghadapi lawan yang sama, Rizaa Kayaalp si Turki.
Sebelum final Rio 2016, Si Raksasa dari Herradura meminta restu kepada ibundanya. “Saya bilang kepadanya ‘kalahkan dia seperti kamu mematahkan pensil’ dan itulah yang dia lakukan,” kenang Leonor Nunez.
Baca Juga: Profil Greysia Polii dan Apriyani, Sejarah Baru Bulutangkis Indonesia
Dan itu pula yang dia lakukan saat merebut medali emas Olimpiade keempatnya di Tokyo kemarin.