Jakarta mempunyai tingkat perkawinan antar etnis tertinggi dari 33 provinsi di Indonesia.
Sekitar satu dari tiga pasangan menikah di Jakarta terdiri dari pasangan suami-istri berbeda suku (menurut catatan sensus). Bandingkan misalnya dengan persentase pasangan beda suku di Jawa Tengah yang hanya 2% dari total jumlah pasangan.
Hasil analisis saya terhadap sampel penduduk dewasa muda (20-39 tahun) Jakarta yang menikah menghasilkan beberapa kesimpulan.
Pertama, individu dari suku bangsa yang populasinya relatif besar mempunyai kemungkinan perkawinan antarsuku yang lebih kecil, dibanding individu yang berasal dari suku bangsa minoritas di Jakarta.
Contohnya, suku Jawa. Karena banyaknya suku Jawa di Jakarta (sekitar 36% dari populasi), secara matematika, seseorang laki-laki Jawa memiliki kemungkinan lebih besar untuk bertemu dan jatuh cinta dengan perempuan Jawa juga walaupun tidak ada preferensi pribadi atau wejangan orang tua yang mengharuskannya menikah dengan sesama Jawa.
Kedua, tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap kemungkinan perkawinan antarsuku. Semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, semakin tinggi pula kemungkinan dia untuk menikahi orang dari suku yang berbeda.
Dalam hal ini, menarik untuk diteliti lebih jauh apakah pendidikan mempengaruhi sikap dan pandangan seseorang dalam melihat perbedaan; atau apakah ruang pendidikan – sekolah dan kampus – menyediakan tempat pertemuan dan interaksi antar individu yang beragam.
Ketiga, para migran baru (mereka yang baru tinggal di Jakarta kurang dari lima tahun) memiliki kemungkinan lebih kecil untuk menikah antarsuku, dibanding non-migran atau migran yang sudah lebih lama tinggal di Jakarta.
Sayangnya, kita tidak dapat menelesuri kapan dan di mana seseorang bertemu dengan jodohnya. Jadi kita tidak dapat menyimpulkan apakah para migran baru ini cenderung menikah sebelum atau setelah bermigrasi ke Jakarta.
Baca Juga: Anak Tanya Soal Rasisme, Ini Tips Mudah Ajarkan Anak Soal Keberagaman
Hasil wawancara mendalam dengan penduduk dewasa muda di Jakarta menunjukkan bahwa meskipun ada penurunan dalam praktik perjodohan oleh keluarga, pengaruh pihak ketiga dan struktur sosial yang lebih luas terus mempengaruhi pola berpasangan dan perkawinan.
Menurut responden, selain suku bangsa, identitas sosial yang lebih berperan dalam proses membentuk rumah tangga adalah agama dan kelas sosial.
Dalam konteks masyarakat urban masa kini, perkawinan masih lumrah dilihat sebagai tanda bersatunya dua keluarga.
Artinya, walau responden merasa bahwa mereka memiliki jauh lebih banyak kebebasan untuk memilih pasangannya daripada generasi sebelumnya, peran orang tua dan jaringan kekerabatan tetap dilihat penting dalam keputusan menikah.
Patut dicatat bahwa banyak responden menilai bahwa sikap keluarga dan masyarakat yang menentang perkawinan antarsuku sebagian besar berkaitan dengan agama.
Namun, terkadang sulit untuk memisahkan identitas etnis dan agama di Indonesia.