Suara.com - Bojonegoro pernah menjadi daerah paling miskin di Pulau Jawa sampai era tahun 90-an. Korupsi pegawai negeri sipil (PNS) di sana pun tak kalah parahnya.
Terakhir, tahun 2008 Bojonegoro mempunyai 80 persen jalan rusak dan utang proyek sebesar Rp350 miliar. Sementara Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) saat itu Rp840 miliar. Sebanyak Rp600 miliar APBD untuk membiayai 12 ribu PNS dan pegawai honorer.
Di keadaan seperti itu, Suyoto terpilih menjadi bupati, dia tahu keadaan Bojonegoro parah. Di awal kepeminannya, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Gresik itu dikejutkan dengan pengakuan para PNS di sana soal aliran ‘uang siluman’. Disebut DPR, wartawan, lembaga swadaya masyarakat, bahkan bupati periode sebelumnya menerima uang haram tersebut.
“Saya kaget. Saya bilang, khusus untuk yang ini bantu saya untuk lebih baik dan bersih. Jangan tawari saya uang,” cerita dia kepada suara.com.
Mulai 2008, Bojonegoro berbenah. Politisii PAN itu berkomitmen menyelesaikan masalah sosial dan korupsi yang mengakar di daerah yang dia pimpin. Suyoto pun membuat banyak terobosan yang menuai pujian. Suyoto pun terpilih kembali pimpin Bojonegoro tahun 2013 lalu sampai saat ini.
Terakhir, dia berhasil mengurangi banjir di Bojonegoro dari luapan Bengawan Solo. Ribuan hektar sawah selalu terendam tiap tahunnya jika banjir. Uniknya cara penanganan banjir ala Suyoto tergolong unik hingga masyarakat rela menyerahkan tanahnya ke negara. Bahkan menurutnya cara ini bisa dicontoh Jakarta yang mempunyai ‘momok banjir’ saban tahun.
Suyoto banyak bercerita soal rahasia kesuksesannya itu kepada suara.com di sebuah hotel di Jakarta Selatan pekan lalu.
Berikut kisahnya:
Hampir 10 tahun Anda pimpin Bojonegoro, perubahan apa yang sudah Anda lakukan?
Bojonegoro itu mempunyai mempunyai sejarah sebagai kawasan termiskin di Jawa tahun 1900. Tanahnya berat karena jutaan tahun lalu Bojonegoro adalah laut. Sehingga air hujan dari daerah yang mengelilingi kabupaten larinya ke Bojonegoro. Tanahnya juga tidak subur. Jadi saat itu, syarat kemiskinan terstruktur itu dimiliki Bojonegoro.
Apa yang terjadi saat saya masuk ke Bojonegoro? Ada kemiskinan, korupsi terjadi besar-besaran, 80 persen jalanan rusak, pelayanan publik jelek. Dari anggaran APBD Rp840 miliar, sebesar Rp350 miliar harus bayar hutang proyek sebelumnya. Sebesar Rp600 miliar bayar gaji 12 ribu pegawai.
Saat saya mencalonkan diri sebagai bupati, saya tidak punya uang. Saya keliling ke masyarakat dari pukul 09.00 pagi sampai 03.00 pagi keesokan harinya baru pulang. Begitu setiap hari. Karena kalau mau lewat partai politik harus bayar mahal. Saya menghadapi 2 bulan pertama keliling, selalu dimintai duit oleh masyarakat karena dianggap banyak duit ingin mencalonkan diri.
Saya berpikir bagaimana cara berkampanye dan tidak mengeluarkan duit? Saya pun menemukan tempat-tempat yang tidak perlu mengeluarkan duit, yaitu di pasar. Di pasar saya menemukan orang-orang yang tidak perlu berjabat tangan, kata mereka yang penting duitnya. (seraya tertawa)
Mereka cerita kecewa dengan fasilitas jalan yang jelek jadi susah cari duit. Saya bilang sama mereka, bupati itu bisa mengatur anggaran untuk pembangunan jalan dan fasilitas umum.
Saya mengerti bagaimana mengatur anggaran APBD. Akhirnya mereka percaya dan mengerti. Makanya banyak penjual bakul yang rela menyebarkan stiker saya ke seluruh Bojonegoro. Mereka mendatangi orang-orang yang menggelar hajatan, stikernya dibagikan di sana. Karena warga berkumpul di sana. Nomor ponsel saya sebar ke rakyat. Akhirnya saya terpilih.
Bagaimana setelah terpilih?
Saya ingat dilantik hari Rabu, malamnya saya kumpulkan 10 kepala dinas untuk menanyakan apa yang mereka pikirkan, rencanakan dan berapa biayanya. Setelah 4 jam mereka bicara, gantian saya yang bicara. Saya bilang, bapak ibu semua tidak ada satu orang pun yang dulu mendukung saya. Tapi saya bilang itu soal masa lalu, mereka saya maafkan. Tidak ada yang saya pecat dan mutasi. Tapi syaratnya, mereka harus membantu saya untuk lebih baik.
Saya bertanya ke mereka, soal untuk apa saja uang APBD yang dikeluarkan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan? Mereka bilang ada, uang itu diberikan untuk DPRD. Saya pun bilang sejak sekarang tidak ada uang Rp1 pun ke DPRD.
Selain itu ada lagi, untuk LSM dan untuk wartawan. Sampai saat mau lebaran, kepala dinas nggak berani keluar karena takut dimintai duit sama mereka. Saya juga bilang tidak ada uang untuk wartawan dan LSM.
Selain itu uang yang tak tertanggungjawabkan itu untuk Bupati. Saya kaget. Saya bilang, khusus untuk yang ini bantu saya untuk lebih baik dan bersih. Jangan tawari saya uang.
Bojonegoro dipuji karena menerapkan keterbukaan informasi. Seberapa terbuka informasi tersebut?
Semua mekanisme keterbukaan sudah dilakukan. Sebanyak 1.000 open data di Indonesia, 300-nya ada di Bojonegoro. Kita bukan transpran lagi, tapi sudah telanjang. Tiap Jumat pagi kami mengadakan pertemuan manajemen review di kantor bupati. Mulai dari wartawan, LSM dan mahasiswa datang.
Penelitian Bank Dunia, ekonomi Bojonegoro tahun lalu tumbuh 13,7 persen, GDP Bojonegoro terus naik, Bojonegoro nomor 10 sebagai daerah yang bisa mengurangi kemiskinan tercepat. Bojonegoro lagi merintis dana abadi, meskipun di pemerintah pusat tidak mempunyai nomenklatur yang mengaturnya.
Salah satu yang unik, belum lama Anda menerapkan senam antikorupsi, apakah sudah terlihat dampaknya?
Kalau ditanya efeknya bagi publik itu belum terasa. Tapi senam antikorupsi menjadi anak-anak menjadi mengerti tentang bahaya korupsi. Anak-anak mulai bejalar kejujuran dan belajar kepedulian tentang korupsi. Karena itu lah fungsinya, olahraga punya dimensi untuk pembentukan kesehatan dan pembentukan karakter.
Seperti apa senamnya?
Kita bareng-bareng diingatkan tentang korupsi dan bahayanya. Bagaimana kita juga melawan korupsi.
PNS juga ikut, apakah PNS di Bojonegoro sudah antikorupsi?
Di Bojonegoro, orang yang berniat baik itu banyak. Lalu penegakan pencegahan korupsi dan penegakan hukum itu lah harus disatukan. Melalui transparasi dan akuntabilitas dan mekanisme, rakyat bisa kontrol terus.
Kalau saya ditanya perlukah berpartner dengan lembaga antikorupsi? Saya akan jawab sangat perlu karena akan membantu kita melaksanakan niat baik. Kedua itu juga membantu kita membuat sistem agar niat baik itu terlaksana.
Seperti yang saya alami di Bojonegoro yang satu-satunya kabupaten yang open daya-nya terbanyak di Indonesia. Kita juga mengimplementasikan LAPOR, SMS dari rakyat, kemudian membuka pihak asing untuk meneliti dan membantu soal pengurangan korupsi. Tujuannya agar Bojonegoro menjadi kawasan transpran.
Ketiga, saya menangkap semangat belajar untuk tidak korup itu meningkat. Itu penting, menurut saya kalau kita ingin mengurangi korupsi bukan hanya soal aturan, tapi juga soal bagaimana mengubah niat menjadi strategi dalam sistem. Sehingga melahirkan culture.