Suara.com - Nama Ferry Iskandar mungkin relatif belum dikenal oleh banyak orang, terutama lagi masyarakat umum. Padahal Ferry bukanlah orang sembarang, karena fisikawan peraih gelar doktor di Jepang ini adalah salah seorang ahli Indonesia yang sudah punya banyak paten dari hasil penelitiannya.
Lebih menarik lagi, Ferry yang sebenarnya punya kesempatan untuk berkarier di Jepang, ternyata lebih memilih kembali ke Indonesia untuk meneliti dan mengajar di sini. Tepatnya, kini ia menjadi salah satu dosen di Institut Teknologi Bandung (ITB). Apa saja impiannya, dan apa yang bisa ia jelaskan tentang penelitian dan bidang ilmu yang selama ini ia tekuni?
Berikut petikan wawancaranya dengan Suara.com, baru-baru ini:
Sebagai fisikawan material elektronik, Anda pernah menyebut teknologi material itu merupakan salah satu teknologi dasar untuk mengembangkan teknologi-teknologi turunannya. Bisa Anda jelaskan di mana letak pentingnya penelitian teknologi material ini?
Kita ambil contoh misalnya ini, alat komunikasi. Ini kan HP (handphone) ya, atau gadget sejenisnya. Kalau dulu kan kita besar ya (ukurannya) HP itu. Semakin ke sini makin kecil, semakin tipis, semakin cepat, semakin baterainya panjang ya, dan sebagainya. Kita sebut dengan smartphone. Itu dikarenakan bahan-bahan elektronik yang digunakan di dalamnya itu kita sebut (sudah) advance atau menggunakan material maju. Contohnya salah satunya misalnya ukurannya kecil, spesifikasinya punya kemampuannya besar.
Jadi kalau kita melihat semua ini kan terdiri dari material-material penyusunnya. Ada CPU, di dalam CPU-nya ada semikonduktor. Kemudian kalau kita lihat layarnya, itu sekarang pakai LED. Kemudian ada juga yang pakai OLED kalau untuk layarnya. Terus belum pelapisnya, belum elektronik-elektronik yang lain, baterai misalnya. Dulu baterai kan cepat habis, sekarang kan tahan lama, tipis gitu ya.
Nah, kalau kita lihat mengapa bisa terjadi seperti itu, itu karena ada pengembangan teknologi material. Kalau dulu materialnya misalnya hanya bisa speknya itu sekian, sekarang mungkin bisa dua kali lipat, tiga kali lipat, 10x atau 100x lipat. Atau kalau dulu ukurannya lebih besar, sekarang ukurannya menjadi lebih kecil, sehingga kita bisa masukkan ke HP kita ini. (Sehingga) HP yang ada sekarang ini lebih tipis, lebih cepat. Kalau dulu pakainya banyak, sekarang sedikit, atau kalau pun sama, kita punya kecepatan yang lebih tinggi.
Nah, itu semua dikembangkan dengan material-material. Ambil contoh baterai lithium yang ada di sini. Di dalam baterai lithium ini kebanyakan itu menggunakan nikel. Indonesia penghasil tambang nikel, dari dulu sudah ada. Tapi yang dijual adalah tambangnya, ya. Kita ada beberapa sih smelter, tapi aktivasinya bukan untuk barang elektronik ya. Nah, kita belum mengolah untuk material jadi baterai. Itu mesti ada pemurnian, proses pemisahan, sehingga kita dapatkan nikel. Oke, untuk dapat nikel saja. Bagaimana bisa membuat jadi baterai? Itu ada teknologinya lagi. Jadi tadi, teknologi pemurnian dan sebagainya itu kan teknologi material juga.
![Ilustrasi pertambangan nikel. [Shutterstock]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2017/03/06/49555-ilustrasi-pertambangan-nikel-shutterstock.jpg)
Nah, sekarang kita teliti, nikel kita masukkan ke dalam baterai. Itu perlu penelitian lagi. Berapa misalnya banyaknya, komponennya apa saja, cara mencampurnya bagaimana, memanaskannya bagaimana. Nah, itu semua masuk dalam teknologi material. Itu dikembangkan teknologi material, sehingga teknologi HP bisa jadi kecil kaya gini, teknologi komunikasi informasi, bisa lebih cepat. Coba kalau baterainya nggak ada. Baterai mungkin ada, (tapi) kalau baterainya masih besar kaya dulu itu, mungkin kaya tentara, kalau mau pergi ke mana-mana bawa ransel isinya baterai dengan alat penguat. Itu HP itu sebetulnya.
Baca Juga: Mito FullView A21 Meluncur, Seharga Rp 1 Juta
Kemudian mobil. Sekarang ada mobil listrik. Kenapa bisa ada mobil listrik? Sama dengan baterai, karena ada baterai, ada motor. Motor itu apa bahannya? Ada di alam. Bagaimana kita bisa menemukan material yang baik untuk bisa dijadikan motor? Ya, ada magnet, kita buat magnetnya. Materialnya ada di Indonesia? Mungkin saja ada, tapi saya belum cari sampai sana. Mungkin saja ada, tapi kita buat. Buatlah telnologi itu. Bagaimana cara membuat? Kaya orang masak. Kita pengin buat material untuk baterai itu kaya orang masak. Kita campur ini, campur itu, kita panasin, kita goreng, kita microwave. Itu intinya gitu ya. Mudahnya seperti itu.
Jadi bisa disimpulkan kalau teknologi material ini bahan-bahannya itu sudah ada ya?
Bahan mentahnya sudah ada, lalu diracik menjadi material baru, misalnya gitu. Atau material yang punya performa lebih baik. Dari mulai pemurnian, itu sudah teknologi material. Sampai nanti membuat device-nya, itu teknologi material. Bagaimana kita membuat lapisan yang tipis sekali. Karena kan harus kecil ya, terus kita buat tipis. Dilapis ini, dilapis itu.
Anda fokus pada teknologi material yang berfokus pada produksi energi, penyimpanan energi, dan penggunaan energi secara efisien. Anda juga mengembangkan nanokatalis untuk Enhanced Oil Recovery (EOR). Bisa Anda jelaskan dengan bahasa umum soal penelitian itu?
Hal pertama, kita mengkonversi; kita sebut harvesting. Harvesting itu mengkonversi, itu memanen energi. Energi dari matahari, kalau kita langsung ubah menjadi listrik, itu disebut dengan panel surya. Kalau kita misalnya tumbuhan mengubah pakai klorofil, itu karbohidrat jadi energi. Energi itu disimpan dalam karbohidrat, dalam listrik dan sebagainya.
Energi kemudian kan nggak langsung kita pakai. Kita simpan dulu; itu disebut dengan storage. Baterai itu menyimpan energi. Dan oli, minyak, bensin, itu sebetulnya menyimpan energi. Itu dari matahari semua. Matahari ya, diubah oleh fotosintetis tumbuhan. Daunnya dimakan oleh hewan misalnya, kemudian mengendap, kemudian manusia mengambilnya dari perut bumi, kemudian dibakar; di mana awalnya dari matahari. Nah, itu di-convert di mobil biasa ya. Di mobil, itu penyimpan juga sebetulnya. Cuma kita bicara yang kekinian, baterai. Kemudian (dalam) penggunaan, dulu lampu pijar watt-nya tinggi. Nah kita sekarang bikin LED; pemakaian listriknya lebih hemat.
Kemudian yang EOR, hubungannya adalah minyak itu Indonesia punya banyak sumur minyak ya. Tapi beberapa (sumur) itu katanya sudah tidak bisa diproduksi karena kental. Yang ringannya, yang encernya sudah diambil, tinggal yang kental. Nah, kalau kental itu harus disedot. Sedot dulu energi. (Tapi) Nanti nggak untung-lah ya, (karena) kita butuh energi untuk menyedot energi. Nah, makanya ada dikembangkan namanya proses aquatermolesis. Itu sebenarnya mengencerkan. Mengencerkan (itu) caranya dimasukkan steam, direaksikan dengan air sebetulnya. Kemudian setelah beberapa lama itu minyaknya jadi encer, kemudian baru bisa diproduksi.
Permasalahannya, itu perlu waktu yang lama, bahkan sampai 6 hari, seminggu. Nah, makanya saya mengembangkan katalisnya. Katalis itu material yang mempercepat reaksi, atau menurunkan suhunya supaya lebih efisien reaksinya. Makanya yang tadinya 6 hari, jadi beberapa jam. Setelah itu jadi encer, kemudian baru kita sedot; atau kita keluarkan, kita produksi.
Bagaimana penerapannya dalam kehidupan nyata atau di masyarakat?
Pertama yang masalah LED, sudah jelas. Baterai juga sudah jelas. Ke depannya, kita ingin mencoba yang kapasitasnya lebih tinggi, sehingga nanti bisa dipakai di mobil listrik. Kalau ada mobil listrik nasional, mungkin bisa digunakan di sana. Kita punya nikel, nikelnya itu kita olah menjadi baterai. Kalau kita olah, berarti mengolahnya kan di Indonesia sendiri; harganya harusnya lebih murah, yang bekerjanya pun lebih banyak. Terus nanti pendapatan negara pun meningkat, kesejahteraan rakyat juga meningkat. Intinya begitu, ya.
Terus solar cell, itu salah satu juga. Sel surya kita juga sedang mengembangkan, walaupun yang ini masih benar-benar di tahap sainsnya, belum ke aplikasinya. Terus EOR, jelas untuk meningkatkan produksi minyak di Indonesia. Mudah-mudahan bisa bermanfaat, walaupun belum sampai ke sana.
Di laman berikutnya, Ferry Iskandar bicara soal penerapan teknologi yang ia tekuni di Indonesia, terutama di bidang industri, juga tentang impian besarnya...
Kontributor : Rizki Aulia Rachman
Berapa lama kira-kira (penerapannya sampai ke sana)?
Jadi begini. Tes buat teknologi tidak bisa dicapai dengan mudah, apalagi teknologi material. Beberapa di negara-negara lain itu memang teknologi seperti itu dikembangkan berpuluh-puluh tahun. Baik, kita bicara di Indonesia. Pertama, posisi saya sekarang sebagai dosen peneliti, bukan di industri, gitu. Apa tugasnya? Yaitu meneliti dan mendidik. Nah, meneliti itu kita coba meneliti yang tadi disebut, lalu dikembangkan dengan industri. Tinggal industri mana yang siap, ya, kita bisa kerja sama dan mengembangkan.
Terus yang kedua, mendidik. Kenapa setiap teknologi itu harus ada penelitiannya? (Sebab) Kalau tidak, teknologi itu akan diam, tidak akan berkembang. Maka perlu penelitian lanjutan. Nah, SDM kita yang bisa berinovasi itu bisa dibilang masih sedikit. Itu tugas saya, mendidik SDM kita untuk siap melakukan penelitian dan pengembangan. Nah, itu tugas dosen di situ. Belum sampai kita membuat di industri, tapi kita bisa memberikan masukan-masukan kepada mereka, bisa bekerja sama melakukan pengembangan, dan lain sebagainya, tapi tidak membuat secara pabrikasi, meskipun ada ya.
Jika ada tawaran dari industri atau perusahaan?
Tentu, kita menunggu siapa yang siap. Sebenarnya sudah ada, cuma ini masih ada off the record-lah.
Sejak memperoleh gelar sarjana, Anda lama di Jepang sampai memperoleh gelar doktor. Sementara, banyak juga ilmuwan dari Indonesia akhirnya menetap dan mengembangkan teknologi ciptaannya di sana. Tapi Anda, mengapa kembali ke Indonesia?
Saya yakin semua orang Indonesia ingin berkontribusi untuk bangsanya, sesuai bidangnya. Tapi bagi orang seperti saya yang bergerak di bidang material, ya, kita harus punya alat karakterisasi, harus punya alat pembuat untuk penunjang penelitian, dan sebagainya. Ini lebih pada beda sudut pandang saja, sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Kalau saya pribadi merasa lebih ingin mengembangkan SDM yang di Indonesia, dari segi bagaimana nanti bisa melakukan inovasi, dan mengembangkan material di Indonesia. Kita memang tidak punya apa-apa, tapi saya merasa di-challenge di sini, karena di sini saya mulai dari nol lagi. Bisa nggak, kita melakukan penelitian? Meskipun penelitian itu masih step by step, karena mungkin keterbatasan alat, tapi kita terus coba kembangkan satu per satu. Berbeda mungkin kalau saya tinggal di Jepang. Tapi kok malah didiknya orang Jepang juga? Meskipun di sana menang fasilitas, tapi saya pilih pulang saja ke Indonesia, karena di sini potensi SDM lebih banyak yang bisa dikembangkan.
Apa yang Anda ingin kembangkan di Indonesia?
Ini mimpi saya; karena Jepang itu bagi saya punya segalanya. Indonesia masih kalah jauh. Walaupun mereka sedikit punya SDA, (mereka) punya pemikiran bagaimana bisa hidup dengan perkembangan teknologi. Berbeda dengan Indonesia; di sini banyak SDA, cuma SDM-nya masih minim.
Saya inginnya anak-anak di sini sejak kecil sudah bisa melakukan penelitan dari hal-hal kecil. Karena di sana seperti itu, terutama saat liburan musim panas. Indonesia belum memikirkan ke sana. Semoga suatu saat Indonesia, terutama generasi mudanya, bisa seperti itu. Jangan sungkan mengeluarkan ide-ide apa pun, meskipun nanti di hari tua ide-ide tersebut (entah) dipakai atau tidak. Asal mereka bisa melakuan pembaruan yang melahirkan inovasi-inovasinya sih.
Sebagai ilmuwan, Anda mempunyai banyak paten. Ada berapa jumlahnya saat ini?
Sejauh ini ada 16 paten; di Indonesia ada 2, di luar ada 14. Jenisnya saya nggak hafal semua.
![Dr. Eng. Ferry Iskandar, fisikawan Indonesia lulusan Jepang. [Suara.com/Rizki Aulia Rachman]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2018/08/22/37109-fisikawan-ferry-iskandar.jpg)
Bisa Anda ceritakan satu atau dua paten yang Anda nilai paling bagus dan sangat berpengaruh sepanjang karier Anda?
Saya kira semuanya sama saja, sama-sama baik. Tapi yang menurut saya berpengaruh itu, yang di industri menghasilkan produk yang memang punya nilai jual yang besar.
Terus terang saja, sampai saat ini paten saya belum ada yang sampai ke sana. Tapi tetap ada possibility, makannya dibuatkan paten. Possibility itu sesuai kebutuhan yang ada, karena bayar paten di luar negeri itu termasuk mahal.
Satu paten yang menurut saya berpengaruh yaitu paten nanofiber, yakni kita gunakan sebagai filter udara. Seperti masker, tapi lebih ke sektor industri. Saya punya itu. Cuma itu sudah dipakai Jepang. Karena kita itu jual putus soal paten itu. Jadi yang megang paten itu perusahaan Jepang.
Jika Indonesia memiliki teknologi untuk mengubah logam nikel menjadi kapasitor misalnya, maka pendapatan negara tentu bisa meningkat signifikan. Mengacu pada hal tersebut, apa sudah mencoba melakukan kerja sama dengan pemerintah?
Sedang. Tapi (dengan) siapa-siapanya, saya belum mau kasih tahu dulu. Karena ini bentuknya tim sesama teman-teman ITB.
Sebagai negara kaya dalam hal SDA, salah satunya sektor tambang, apa yang harus diperbaiki untuk SDM yang ada di Indonesia?
Mendidik SDM itu menjadi PR kita juga. Masukan saya yakni inovasi harus dilakukan sejak usia dini. Jangan dibuat takut akan hal inovasi. Lalu, TV harus disiasati dengan (diisi) tayangan bermanfaat. Boleh fun, tapi harus diselipkan pendidikan. Misalnya, pelawak mengisi soal science. Pemerintah juga harus peka soal itu.
Saat berkarier di Jepang, apa yang Anda pelajari terutama dalam pengelolaan SDA dan SDM-nya, yang bisa menjadi contoh di Indonesia?
Salah satunya bisa dilihat dari kurikulum pendidikan. (Ada) Rasa ingin tahu yang tinggi, supaya terus bisa menciptakan inovasi.
Ilmuwan fisika dasar di Indonesia sulit berkembang. Anda sepakat dengan anggapan itu?
Betul. Penelitian dari hal yang dasar itu butuh waktu yang panjang. Pemerintah belum optimum untuk mendukung itu. Tapi, saat ini saya lihat sudah ada peningkatan; dana yang dialirkan pemerintah, misalnya. Tapi belum spesifik. Satu permasalahan, (dari) segi dana yang dikeluarkan hanya untuk barang habis. Padahal (dalam) penelitian, yang diteliti itu harusnya bisa dikembangkan lagi. Misalnya pengadaan alat yang jangan dibatasi. Pemerintah juga dirasa belum terlalu melek. Banyak yang menganggap melakukan penelitian sama seperti pengadaan barang. Padahal itu dasar, tapi berbeda.
Apa yang harus dilakukan negara, mengingat Indonesia sudah menuju ke pengembangan teknologi seperti negara maju lainnya?
Pemerintah harus melihat kita punya tekad. Jangan mudah puas dalam melakukan satu penelitian saja. Jangan satu aspek saja. Tapi dibuat lebih ke investasi, karena nanti jangka panjangnya kita bisa punya produk yang dijual dari hasil sendiri. Mungkin kalau pemerintah serius, 5 tahun kita bisa setara dengan Jepang.
...
Menjalani pendidikan di Jepang, Ferry Iskandar meraih semua gelar akademisnya sejauh ini di Negeri Sakura tersebut. Mulai dari gelar sarjana (B.Eng.) pada tahun 1997 di Kanazawa, berlanjut terus, sampai akhirnya ia mendapatkan gelar doktor (Dr.Eng.) di Hiroshima pada tahun 2002 lalu.
Fokus pada beberapa bidang penelitian seperti Fisika Material, Filtrasi dan Pemisahan Teknik, Reaksi Teknik Kimia, Serbuk dan Nanomaterial, hingga Material Lanjut, saat ini Ferry bertugas sebagai dosen dengan jabatan Lektor di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Institut Teknologi Bandung (ITB). Dan sebagaimana penuturan sang fisikawan dalam wawancaranya, kemunculan lebih banyak lagi peneliti maupun ahli di Indonesia menjadi bagian dari cita-cita besar seorang Ferry Iskandar.
Kontributor : Rizki Aulia Rachman