Wawancara Alexander Gurning, Pianis Klasik Dunia: Bangga Jadi Orang Batak

Senin, 08 Juni 2020 | 06:43 WIB
Wawancara Alexander Gurning, Pianis Klasik Dunia: Bangga Jadi Orang Batak
Ilustrasi wawancara. Alexander Gurning, pianis klasik dunia berdarah Batak. [Foto: Instagram @alexgurning / captured. Olah gambar: Suara.com]

Bagaimana anda merespons kerusuhan di AS yang dipicu sikap rasis kaum kulit putih terhadap kulit hitam?

It’s very ugly. Aneh rasanya melihat negara yang mengklaim diri sebagai country of freedom, country of dream, sekarang situasinya seperti di masa abad pertengahan.

Salah satu faktor pemicunya karena lack of education. Kerusuhan terjadi karena kurangnya pendidikan. Education is the key against violence, against racism. Amerika bukanlah tempat yang terbaik untuk pendidikan.

Padahal orang Batak sangat hirau pada pendidikan.

Exactly! Masyarakat Batak menjunjung tinggi pendidikan. Nilai Batak tentang pendidikan itu sangat kuat. Mereka mampu bertransisi dari masyarakat tradisional ke modern berkat pendidikan yang kuat.

Saya masih ingat cerita ayah bagaimana orang tuanya berjuang menyekolahkan anak-anak mereka. Oang tua ayah tidak miskin tetapi juga tidak berkelimpahan. Orang tua ayah bekerja sebagai pedagang minyak, lalu pegawai di hotel. Mereka bekerja keras agara dapat mengirim sejumlah uang untuk anak-anaknya yang sedang bersekolah di universitas terbaik di Jakarta. They put all money for education, which is incredible!

Sekarang soal latar belakang keluarga. Ayah Alex bermarga Gurning dan Ibu orang Polandia. Bagaimana kemudian menetap di Brussels, Belgia?

Ayah saya, Bonar Edison Gurning, berasal dari Parapat (kota di tepi Danau Toba yang berada di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Red). Dia lahir sekitar tahun 30-an, tidak tahu persis kapan. Saat muda dia bersekolah ke universitas di Jakarta, lalu mendapat kesempatan melanjutkan studi ke Praha, ibu kota Ceko. Itu sekitar akhir tahun '60-an. Di sanalah dia bertemu ibu saya, Ewa, yang orang Polandia. Mereka kemudian menikah. Kakak laki-laki saya, Edward Gurning, lahir di Praha.

Mereka kemudian escape Ceko karena saat itu USSR (Uni Republik Sosialis Soviet) sangat posesif terhadap negara-negara komunis. Jadi, atmosfernya sangat tidak nyaman. Untunglah saat itu ayah masih memegang paspor diplomat. Semula mereka hendak kabur ke Belanda dengan pertimbangan banyak diaspora Indonesia di sana. Tapi kemudian kedua orang tua saya mendapat pekerjaan di Brussels. Itu sekitar tahun 1970. Ayah saya seorang ekonom yang bekerja untuk kedutaan besar Indonesia. Karirnya dihabiskan di sana hingga akhir 1980an.

Baca Juga: Wawancara Khusus Sevo Widodo, Warga Global Pendiri Silicon Bali

Anda berapa bersaudara?

Kami hanya berdua. Saya dan kakak yang 7 tahun lebih tua. Dia seorang dokter, sekarang tinggal di kota Namur yang berjarak satu jam dari Brussels.

Sebagai seorang marga Gurning, apakah ayah memperkenalkan nilai-nilai Batak kepada anda?

Of course. Beliau banyak cerita kepada kami tentang keluarganya, tradisi, dan bagaimana suku Batak menjalani hidup. Secara hati-hati pula, beliau terus menanamkan agar kami bangga menjadi Batak, menjadi marga Gurning. Tentu saja kami bangga menjadi marga Gurning.

Keluarga banyak yang tinggal jauh, jadi agak sulit untuk keep contact. Tetapi kita punya kerabat yang tinggal di kota Luksemburg, Jerman. Kadang kami bertemu, meski complicated.

Ayah dulu sering datang ke Indonesia untuk membantu keluarga dan komunitasnya di Parapat. Pada era 80an, beliau bahkan datang 2 – 3 kali.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI