Fabby Tumiwa: Potensi Sumber Energi Baru Terbarukan Besar, Tapi Tidak Mudah

Sabtu, 05 September 2020 | 07:20 WIB
Fabby Tumiwa: Potensi Sumber Energi Baru Terbarukan Besar, Tapi Tidak Mudah
Ilustrasi wawancara. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform. [Foto: Dok. IESR / Olah gambar: Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Sementara, kita tahu biomassa ini kan ya juga bergantung kepada berbagai situasi. Kita gak bisa ujug-ujug memenuhi kebutuhan atau permintaan pasar kan. Kita nanam pohon, misalnya Kaliandra, ya, ditanam butuh waktu 3-4 tahun sampai kemudian bisa berproduksi. Itu kira-kira.

Memang memproduksi listrik dari sumber energi biomassa, memiliki rantai yang panjang. Apakah pemerintah perlu memberi insentif supaya bisa lebih berkembang? Karena sumbernya kan berlimpah.

Maksudnya insentif apa tuh?

Misalnya dari sisi investasi, karena ini pasti investasinya besar.

Ini investasi di pembangkitnya?

Iya, semacam insentif untuk menarik minat perusahaan swasta atau independent power plant (IPP). Kalau IPP batu bara kan, ada jaminan listriknya dibeli PLN dengan harga sesuai pasar.

Ya, teknologi biomassa sebenarnya mirip dengan teknologi pembangkit thermal yang lain, karena pada dasarnya itu mengubah biomassa menjadi panas, panasnya menghasilkan uap, dan uapnya menggerakkan turbin.

Jadi kalau secara teknologi, itu teknologi bergantung apakah pembangkit listrik tenaga biomassa menggunakan wood pellet atau bahan bakar padat, atau cair. Tapi teknologinya cukup banyak yang sudah mature.

Sekarang tinggal pertanyaannya: butuh nggak pemerintah memberikan insentif? Yang menjadi pertanyaannya, mengapa harus diberikan insentif? Investasinya saya kira tidak terlalu mahal kalau untuk pembangkit listrik tenaga biomassa. Walaupun tetap mungkin saja bisa diberikan insentif dalam kasus tertentu, tetapi itu selama ini belum jadi arah, belum jadi target utama ya. Dan kalau misalnya kita bilang memberikan insentif pada sebuah teknologi, kan jadi pilihannya apakah memang teknologi itu secara ekonomis, secara --kalau kita bicara power system-- apakah secara power system dia lebih bisa memberikan hasil yang optimal atau tidak, dibandingkan dengan teknologi yang lain?

Baca Juga: Ambisi Elon Musk di Jerman: Tesla Gigafactory Sampai Produksi Vaksin Corona

Jadi kalau sudah masuk insentif itu, pertimbangannya saya kira tidak serta-merta --sekali lagi-- pendekatannya: punya sumber daya kemudian mau dipakai, lalu beri insentif. Ya, tidak semua saya kira semudah itu.

Sebenarnya yang perlu didorong adalah satu kondisi yang memungkinkan orang berinvestasi. Investasinya kalau memang ada yang merasa cocok atau bisa untuk mengembangkan biomassa, ya dia masuk ke situ. Karena biomassa itu kalau saya investasi pembangkit, kan harus dipastikan itu jaminan feedstock. Semua pembangkit itu butuh jaminan bahan baku energi.

Mau batu bara, mau biomassa, semua harus ada jaminan feedstock. Kalau untuk batu bara, sudah ada di sana, tinggal ditambang saja, atau, kita beli di tempat lain.

Nah, kalau biomassa kan itu tadi, dia harus ditanam, ada urusannya dengan lahan. Dan kalau usia pembangkit 30 tahun, ya, kita harus memastikan feedstock itu bisa memenuhi kebutuhan bahan bakar kita selama periode ekonomis dari pembangkit itu.

Nah di sini yang kemudian ada unsur-unsur risiko. Apalagi berhubungan dengan lahan. Pertanyaannya: apakah saya ingin memasok sendiri atau saya membeli feedstock-nya dari tempat lain?

Kalau membeli dari tempat lain, dari kebun rakyat misalnya, bisa gak kita menjamin kebun rakyat memasok selama 30 tahun dengan harga yang bisa diprediksi? Jadi risikonya berbeda sekali dengan batu bara. Memang kalau mau dibilang, dan selama ini tantangan pembangkit-pembangkit biomassa itu ya di sustainability, atau keberlanjutan dari feedstock-nya itu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI