Dan ini sudah dibuktikan oleh berbagai jurnal termasuk Lancet bahwa tenaga medis memiliki risiko 11,5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat umum biasa yang tidak terlibat langsung dengan Covid-19.
Apa saja tantangan tenaga kesehatan dalam penanganan Covid-19?
Tantangan selain risiko infeksi Covid-19 adalah memakai APD (alat pelindung diri). Itu sungguh berat ya. Kita memakai APD tidak boleh dilepas sepanjang jaga. Misalnya jaga 8 jam, ya 8 jam, kalau 10 jam ya 10 jam, tidak boleh pipis, tidak boleh BAB (buang air besar). Kalau dibuka harus ganti lagi APD-nya.
Sudah memakai APD pun tidak 100 persen menjamin bebas dari penularan. Misalnya masker N95, itu hanya menahan partikel kecil ukuran mikron 95 persen, masih ada juga risiko 5 persen lagi. Sekarang di tempat perawatan itu penularannya lewat udara sudah terbukti. Ditambah lagi dengan faktor kelelahan.
Dengan jumlah pasien yang membludak tenaga kesehatan pun semakin menipis. Makin banyak pasien, makin banyak juga keterbatasan yang ada di rumah sakit. Per 13 September, IDI mencatat 115 dokter meninggal dunia dan angkanya terus bertambah. Bagaimana peran relawan dokter dalam percepatan penanganan covid 19?
Per hari ini (Kamis, 16 Oktober 2020 --Red) ada 136 dokter yang meninggal, 71 dokter umum, 2 Residence dan 62 dokter spesialis. Berdasarkan data PPNI ada 92 perawat yang meninggal. Jadi memang berat.
Yang kedua soal peranannya dokter relawan, tentu saja membantu di berbagai tempat. Misalnya Wisma Atlet, dari mana dokternya yang jaga? Ya, tentu saja relawan dari IDI, relawan dari Kemenkes, dan lain-lainnya. Relawan yang dihimpun jumlahnya ribuan dan sudah dilatih.
Dan ingat, bukan cuma dokter dan perawat saja relawannya, ada juga tenaga surveilans, orang gizi, dan lain-lain. Jadi di mana-mana ada tuh relawan dan tersebar. Total BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) bilang sekitar 30.000 relawan, tapi yang tenaga medis sekitar 7.000, sisanya non-medis.
Dokter, kita lihat angka kesembuhan sudah semakin banyak. Per 16 Oktober, sudah tembus lebih dari 270.000. Nah, bagaimana caranya agar kita bisa terus menekan laju penularan covid-19 ini sementara vaksin belum ada?
Baca Juga: Vaksinasi Corona Diprioritaskan untuk Garda Terdepan
Yang perlu dipahami adalah pada prinsipnya di dunia kedokteran mencegah itu lebih baik daripada mengobati. Jadi pahami itu dulu. Pencegahan ada tiga jenis nih, ada primer, sekunder, tersier.
Primer itu pencegahan sebelum terserang penyakit, sekunder itu mencegah agar penyakit tidak jadi parah ketika sudah terserang, dan tersier adalah penyakit sudah parah tapi mencegah bagaimana supaya tidak meninggal. Nah, kita harus mencegah laju penyebaran penyakit dari level primer. Kenapa begini?
Karena mau sebagus apa pun kita menangani pasien, kalau di level preventif dan promotifnya tidak baik, ya maka tidak akan bermanfaat. Pada realitanya kita ngomongin rasio tracing deh, rasio lacak yang paling penting.
Di Jakarta pertengahan September, sekitar 1 banding 6. Di Jakarta loh, dengan kapasitas tes 11 ribu, yang gratis 5 ribu. Kapasitas tes ini 5 kali lipat yang disarankan oleh WHO, hasilnya 1 banding 6. Sementara sekarang, 1 banding 2 kali dengan penyebaran yang meledak baru-baru ini.
Sementara Covid ini potensi penularannya bisa menjadi superspreader. Satu orang bisa menularkan sampai 20 orang dan terus begitu. Bagaimana ceritanya kalau penularan itu jauh lebih cepat daripada penanganan daripada tracingnya?
Saya mengibaratkan ini seperti kita mengejar anjing. Anjingnya lari 100 kilometer per jam, kita cuma lari 20 kilometer per jam. Itu yang jadi masalah sekarang. Mau sampai kapan?