Lalu burnout itu apa?
Burnout itu respons psikologis terhadap paparan stres. Bisa kita spesifikkan: stres kerja. Bisa juga kondisi seperti ini (pandemi).
Ada tiga dimensi seorang mengalami burnout. Pertama, kelelahan emosi, hampa, mudah sedih, merasa terbebani. Kemudian ada juga depersonalisasi; biasanya berpikir positif jadi negatif. Ada juga penurunan prestasi pribadi. Hati-hati juga procrastination, bisa jadi itu bentuk wujud dari burnout. Jadi turun kompetensi dan produktivitasnya mengalami penurunan.
Burnout itu tidak melulu karena internal, bisa juga (karena) usia, lalu jenis kelamin, harga diri, karakteristik kepribadian, ekspektasi personal. Tapi pada masa pandemi, ada faktor eksternal tambahan. Ada lockdown, masalah ekonomi, dan infeksi, dan kebijakan lockdown.
![Satgas Padat Karya Penanganan COVID-19 Kelurahan Pejaten Barat memasangkan masker kepada warga saat sosialisasi protokol kesehatan di Kelurahan Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta, Kamis (22/10/2020). [Suara.com/Angga Budhiyanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/10/22/93360-sosialisasi-protokol-kesehatan-dari-rumah-ke-rumah.jpg)
Kalau spesifik, aku lagi meneliti dengan FKM UI --pada 364 (responden) dan belum selesai penelitiannya-- tentang burnout tenaga kesehatan. Nah, yang burnout itu ada 28 responden. Ada yang juga ada gejala fisik yang menemani, itu ada 3 responden. Metode penelitiannya cross sectional dan longitudinal.
Apa saja sih kontributor burnout dan kelelahan kerja selama pandemi Covid-19?
Pertama itu bahaya secara pekerjaan, misal seperti wartawan yang harus memburu berita. Itu salah satu yang menjadi kontributor. Kemudian respons skala nasional dan lokal itu juga berkontribusi. Proses yang tidak efisien, dan tentunya ketidakstabilan keuangan.
Kemudian individu bisa jatuh pada kondisi kurang berusaha dalam menghadapi stresor, bahkan menyerah atau menghentikan usaha untuk mencapai tujuan karena terganggu oleh stresor. Mereka jadi lebih banyak melamun, berkhayal, tidur, (atau) terpaku menonton TV untuk melarikan diri dari masalah.
Perubahan kebijakan negara yang selalu berubah itu mempengaruhi berarti ya?
Baca Juga: Deasy Nurmalasari: UMKM Tetap Bisa Raup Untung dengan "Go Digital"
Jadi aku bisa memahami perubahan yang terjadi ini. Cuma ya, memang sebaiknya jangan terlalu berbenturan antara pusat dan daerah, karena kasihan warganya, terutama perusahaan yang ada di daerah itu.