Wasis Setya Wardhana: 'Jogo Tonggo' Berbasis Data, Cara Desa Kami Hadapi Covid-19

Selasa, 22 Juni 2021 | 07:20 WIB
Wasis Setya Wardhana: 'Jogo Tonggo' Berbasis Data, Cara Desa Kami Hadapi Covid-19
Ilustrasi wawancara. Wasis Setya Wardhana. [Foto: Dok. Citrantara / Olah gambar: Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Distorsinya (memang) sangat tinggi. Pemahaman dari pusat sampai ke desa itu bisa berbeda. Perlu ada satu pemahaman yang sama, agar warga memahami apa itu ODP, PDP, dan bagaimana ketika warga menjadi status itu. Ini sangat berguna, sehingga orang tidak panikan ketika mengetahui tetangganya ODP. Sudah ada alurnya, tinggal dijalankan.

Nah, soal bantuan, bagaimana mendistribusikan donasi agar sampai kepada orang yang tepat?

Dahulu mungkin ada istilah orang yang "terdampak Covid-19". Kami yang di desa akan merasa terdampak semua. Kita berlomba-lomba menjadi orang yang paling terdampak. (Maka) Perlu ada kesepakatan bersama masyarakat, ini lho ya, ternyata ada saudara kita yang lebih terdampak daripada kita.

Kesepakatan itu harus diinisiasi oleh sebuah sistem dan aturan. Nah, ini yang menjadi produk, sehingga pendistribusian berbagai bantuan itu bisa tenang dan tidak menimbulkan kecemburuan. Tetangga saya dapat, kok kenapa saya tidak? (Pertanyaan) Itu kemudian bisa terjawab secara gamblang. Ketika kita masuk dalam status ODP, orang tersebut satu keluarga kan harus dikarantina mandiri di rumah.

Pada waktu SOP-nya seperti itu, kemudian muncul pertanyaan: kalau harus dikarantina selama 14 hari dan kerjanya tidak mendapatkan gaji, hanya serabutan, ini mau makan apa? Kalau cuma mengandalkan tetangga yang baik hati (bagaimana); iya kalau baik hati. (Maka) Harus ada jaminan dari relawan.

Kalau kamu nyuruh orang stay di rumah 14 hari, tidak melakukan aktivitas produksi, ya harus dicukupi kebutuhannya. Kami punya lumbung sembako dari hasil donasi. Kita kumpulkan, standby, manakala ada warga kami yang benar-benar masuk kriterianya, kita bagikan sembako (itu).

Lalu bagaimana pengimplementasian data dari Dawis tersebut kepada warga?

Jauh sebelum pemerintah menggunakan warna untuk menentukan zonasi seperti hijau, kuning dan merah, kita sudah melakukan itu. Jadi, data yang kita dapat dari Dawis, kita gunakan rujukan untuk pengambilan keputusan dari hasil pemantauan data. Sebenarnya ini jatuhnya kan seperti PPKM Mikro.

Ada zona hijau, kuning dan merah. Dahulu kita pakai itu. Dari hasil pendataan, kita bisa mengelola klaster-klaster wilayah, sehingga upaya pencegahan dan penanganan jauh lebih efektif. Misal di klaster hijau, mereka bisa beribadah seperti biasa. Musala tidak perlu ditutup, yang penting jaga jarak. Tapi ketika klaster Dawis kamu lagi merah, ya, sementara musalanya off dulu ya.

Dan itu disampaikan basis data. Jadi tidak ada itu isu, ngomong melarang orang untuk salat atau segala macam, tidak ke situ. Kalau di desa (itu) kan rawan. Kalau ini kan, warganya sadar sendiri kok wilayahnya lagi banyak yang sakit, (karena) itu aktivitas sosial bersamanya harus kita kurangi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI