Inaya Wahid: Tipe Bapak Itu Bukan "Heh Inaya, Ini yang Harus Kamu Lakukan! Demokrasi Itu Begini-begini"

Senin, 23 Mei 2022 | 18:09 WIB
Inaya Wahid: Tipe Bapak Itu Bukan "Heh Inaya, Ini yang Harus Kamu Lakukan! Demokrasi Itu Begini-begini"
Ilustrasi wawancara. Inaya Wahid saat berbicara tentang sosok ayahnya almarhum Gus Dur dalam program Podcast on the Go (POTG). [Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Jadi maksudku, (itu) fakta yang ga bisa dibantah. Cuma pilihannya, itu jadi problem atau mau dijadikan sudut pandang lain, misalnya kekuatan. Karena, aku ngobrol sama beberapa orang dari negara lain, bahkan pemerintahnya, dia cerita, iya, segitu pentingnya keragaman itu sampai ada negara-negara yang homogen itu "ngimpor". (Mereka) "Ngimpor" masyarakat dari latar belakang yang berbeda, "ngimpor" diaspora atau apa gitu ya. Jadi "ngimpor" imigran, mau ga mau. Karena negara-negara itu, perusahaannya itu, yang kerja di situ, seringkali yang didahulukan yang latar belakang berbeda. Kenapa? Karena perbedaan latar belakang itu akan membawa kekuatan yang berbeda juga. Dia akan membawa POV yang berbeda, membawa skill yang berbeda juga, dia juga membawa speciality yang berbeda juga.

Kalau aku suka ngomong gini nih, pakai joke zaman dulu: "Kalau content creator jadi petani, terus influencer jadi petani, presiden jadi petani, pengacara-hakim jadi petani, nanti petani jadi apa? Jadi banyak!" Joke zaman dulu banget. Tapi pertanyaanku selanjutnya: "Bisa ga, satu negara isinya petani semua?" Kan ga bisa. Jadi keragaman itu, apa pun kondisinya tetap dibutuhkan, walaupun keadaannya berbeda. Kalau aku cenderung memilih, ya, jadikan kekuatan.

Masuk akal juga ya?

Iya, moga-moga... Atau itu sotoy-sotoy-an aku aja, ga tau juga. Tapi aku merasakannya seperti itu.

Pemikiran seperti itu, dapat, datangnya dari mana? Dari Gus Dur, atau dari seiring berjalannya hidup?

Ya, itu campuran. Tipe bapak itu bukan "Heh Inaya, ini yang harus kamu lakukan! Kamu tau ga demokrasi itu apa? Demokrasi itu gini-gini." Malah seringkali sama bapak, ga pernah ngomongin kerjaan, ga pernah ngomongin negara. Kalau sama bokap, (yang diomongin) yang receh-receh aja, remeh temeh aja, ga mikir yang berat. Ya udahlah, bapak gua udah pusing mikirin negara. Ya sudah, sama bokap ya nonton bola. Ya udah, yang simpel-simpel aja, ngomongin film, wayang. Tapi bokap kan begitu, seumur hidup.

Sama bokap, aku tiga kali dikasih nasehat. Nasehat pertama itu waktu aku ketahuan sama bokap ga sekolah selama sebulan penuh. (Itu) Bapak gua dipanggil sama kepala sekolah. Lucunya, pas bapak udah dipanggil kepala sekolah... "Ah, bokap manggil. Nah, tumben. Tumben ada, jam 9-10 malem sudah ada di rumah." Itu tumben banget. Udah gitu, dia manggil. Wah, aku udah benar-benar ga kebayang, "Matilah gua, ga akan bisa keluar kamar, sampai dihukum, mungkin disiapkan dinikahkan." Karena saking dosanya gede banget, sebulan penuh gua ga sekolah gitu, nongkrong, kabur ke warnet, segala macem.

Terus kita ngobrol biasa gitu. Tapi kan kita sebegitu bersalahnya, kayak, "Kapan nih dia bakal ngomong, memberikan vonis..." Kayak, "Masuk kamar, jangan keluar lagi! Papa rantai!" Itu udah siap-siap gitu kan. Tapi dia itu ngobrol santai, sedangkan kitanya kayak, "Waduh, mati nih... Kapan nih, kapan gua dieksekusi?" Terus sampai terakhir ga ada percakapan tentang bolos sekolah. Cuma tanya, "Ke mana aja emang?" Ya, ke mana aja, sesuka-suka... kadang ke Gramedia, kadang ke mana, kadang kalau dulu itu juga ke rental PS. Jawabannya, "Oh... ya udah. Kenapa (bolos)?" Ga apa-apa, ga suka aja. "Oh, ya udah." Gitu.

Terus beliau ngomong yang lain. Terus beliau ngomong gini, "Nanti gede mau ngapain?" Bukan "gede mau jadi apa", tapi "mau ngapain". Karena ngapain itu bisa ke mana-mana. Kalau jadi polisi, ya sudah, jadi di situ, selesai. Nah, waktu itu aku bilang, aku suka nulis, karena waktu itu aku senang bikin cerita. Terus, "Ya sudah, bagus." Ya, nulis kan bisa jadi apa aja, penulis, jadi script-copywriter. ghostwriter. Beliau jawab, "Oh, ya bagus. Ya udah, mulai nulis sekarang. Karena orang jadi jenius itu kalau dia di tempatnya." Itu nasehat pertama yang aku dapetin dari bokap. Jadi, kita ga bisa jadi gede kalau kita ga ada di tempat kita. Kalau kita kepaksa, kalau kita apa, ya, kepaksa mungkin ga apa-apa, tapi kayak ya, kita jenius karena kita di tempatnya.

Baca Juga: Podcast Hamburger Bareng Inaya Wahid: Ghibahin Perhatian Negara untuk Atlet Disabilitas

Apakah Gus Dur ada mengarahkan Inaya untuk menjadi seperti beliau?

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI