Bokap melakukan ini, melakukan itu, setelah gede baru tahu, oh ternyata ini yang dilakukan bokap gua. (Pernah) Kelompok yang dibela bapak itu datang. "Kamu tuh, tau ga, bapakmu tuh dulu gini-gini. Gila nih orang, tenaganya satu orang, kaya ngerjain kerjaan ribuan orang." Jadi kalau hari ini aku jadi Inaya Wahid itu karena lihat (Gus Dur), bukan karena disuruh ke sana disuruh begini-begitu.
Artinya, bapak itu membebaskan Mba Inaya?
Iya, dari dulu. Kalau ada orang datang, "Gus, kami ingin Inaya seperti ini, seperti itu." Bapak jawabnya, "Ya, tanya Inaya. Ngapain tanya sama saya." Toh saya yang jalani.
Atau saat rambut saya merah. Generasi milenial ke atas pasti ingat saat rambut saya dicat pink di Istana, terus jadi berita. Oh, kakak saya yang nomor satu itu bilang ke Gus Dur, "Oh Pak, rambutnya Inaya dicat." Bokap cuma manggil, "Rambut kamu dicat?" Iya. "Kamu tahu kan secara fikih, dan impact-nya (orang) ngehujat?" Tahu. "Terus, kamu siap ngambil konsekuensinya?" Saya jawab siap. Terus Gus Dur bilang ke kakak saya, "Lah wong orangnya aja siap terima konsekuensinya, ngapain aku ikut-ikut." Itu jawabnya Gus Dur.
Sejauh ini, apa sepak terjang bapak yang Mbak Inaya ingat?
Ya, itu, bapak itu based-nya liberation, membebaskan. Bahwa tiap orang berhak menjadi dirinya sendiri sesuai identitasnya, tiap orang punya haknya dan kewajibannya. Dah, itu aja. Terus gua yang sok-sokan menuntut kamu misalnya, untuk tak berambut panjang, ga bisa gitu.
Eh, tapi ini cuma mau ngingetin, dulu Indonesia pernah punya episode orang berambut gondrong hingga tatoan itu bisa mati ngga dibolehin sama negara. Kenapa? Itu artinya bahwa kebebasan hari ini itu diperjuangin, jangan disia-siain. Hari ini Mas bisa gondrong, itu nggak segampang itu perjuangannya. Atau sesimpel (soal) pakai jilbab. Dulu di tahun 80-an, 90-an, itu pakai jilbab itu bentuk perlawanan, karena dulu ga boleh. Jadi kalau hari ini orang bebas pakai jilbab, atau bahkan menghakimi orang yang ga pake... ehm... curhat, hahaha... nah, itu ada perjuangan banyak orang di situ. Jadi jangan disia-siain. Jadi jangan diganti pada yang nggak pro pada pembebasan itu.
Hari ini teman-teman gen Z nonton Bumi Manusia, terus sambil lihatin Iqbal. Enak lah. Dulu aku baca bukunya Pram itu ngga boleh, harus diem-diem. Aku pernah ketahuan di sekolah. "Mana bukunya?" ditanyain guru. Aku umpetin, aku kasih buku catatan matematika. Tapi guru itu ga percaya, terus guru itu ngomong ke guru Bahasa Indonesia, terus dia panggil aku, ditanya aku baca apaan. "Baca Bumi Manusia-nya Pram." Terus aku dibelain. Jadi kalau hari ini orang bisa merasakan kebebasan, itu tidak tiba-tiba muncul, tapi ada perjuangan di dalamnya.
Kalau sekarang, pandangan Mbak Inaya sendiri, generasi sekarang merespon perubahan kebebasan berekspresi sudah cukup baik gak sih?
Baca Juga: Podcast Hamburger Bareng Inaya Wahid: Ghibahin Perhatian Negara untuk Atlet Disabilitas
Jadi gini. Bahwa kita punya harapan banyak, iya, apalagi yang di Jogja, teman-teman lewat "Gejayan Memanggil", itu kan generasi Z, bukan generasi saya. Persoalan bangsa bodo amat, mikirnya, "Aku belum punya rumah." Sementara yang bergerak teman-teman generasi Z, luar biasalah.