Misalnya yang paling sederhana. (Saya) Cukup kaget ketika Jalan Warung Buncit Raya diubah menjadi jalan Tutty Alawiyah. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Ibu Tutty Alawiyah, di tahun 2018, awal Pak Gubernur menjabat kalo kita periksa sebentar saja, ada juga polemik ramai, kalau jalan itu mau diubah jadi Jalan Jenderal Besar AH Nasution. Kemudian dibatalkan, dan ditetapkan nama jalan itu harus menjadi nama Jalan Warung Buncit Raya.
Alasannya karena ternyata dalam riset, Jalan Warung Buncit Raya itu mengandung nilai bagi kekinian kita, terutama bagaimana kita belajar tentang toleransi dan inklusivitas dari orang Betawi. Itu kan kawasan tempat tinggal orang Betawi, yang identik dengan Islam. Tapi kenapa namanya Warung Buncit? Setelah diriset, ternyata itu namanya Tan Buncit. Tan Buncit ini orang Tionghoa yang banyak melakukan hal baik bagi warga. Karena dianggap banyak membantu warga, maka warga yang notabenenya orang Betawi menobatkan nama Tan Buncit itu sebagai nama kawasannya. (Nama) Tan Buncit dijadikan sebagai penanda.
Nah, itu pelajaran yang penting dari peristiwa di akhir abad ke-19 bagi kita. Meski Warung Buncit Raya tidak diubah semuanya, yaitu hanya sebagian jalan, tapi menurut saya dari aturan pemerintah tersebut kita ketemu itu. Kita akan kehilangan. Kalau sekarang bisa dihilangkan seperempat, kenapa besok nggak bisa dihilangkan seperempat juga, begitu (kan).
Nah, itu menurut saya pentingnya. Saya nggak tahu ya, apakah Peraturan Pemerintah itu juga dimasukkan (dalam) alasan konsideran dari keputusan untuk mengubah nama-nama jalan tersebut.
![Plang nama Jalan Mpok Nori terpajang di kawasan Jakarta Timur, Selasa (21/6/2022). [Suara.com/Alfian Winanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2022/06/21/18669-jalan-mpok-nori-perubahan-nama-jalan.jpg)
Atau misalkan Kebon Kacang, Jalan Kebon Kacang Raya. Saya, buat orang yang belajar Antropologi, Kebon Kacang (itu) ada disertasi yang sangat baik sekali dari Ibu Lea Jellinek. Itu keren banget, tentang apa itu, Kebon Kacang. Dia bukan hanya penanda di masa lalu tentang sebuah kawasan, tentang citra ruang hijau, perkebunan, tapi juga citra tentang orang-orang kecil yang dikalahkan. Menurut Lea Jellinek, mereka mengalami genosida karena ruangnya diambil alih kapitalisme ruang. Mungkin pelan-pelan mereka dipindahkan ke rusun, dan akhirnya bukan selamat tapi sebagian hilang.
Nah, itu kan gambaran, (bahwa) bagaimana kalau kita punya keberpihakan terhadap orang kampung, maka sejarah ini penting. Kalau bangsa ini mau manusiawi, sejarah dalam nama Kebon Kacang itu menjadi pemicu cek, bukan hanya tentang kehijauan. Bukankah wajar? (Karena) Orang kampung juga bagian dari warga Jakarta.
Nah, itulah menurut saya, bahwa dalam pemberian nama itu (perlu) ada diskusi dan dialog, secara administratif juga telah dipersiapkan. Ada aturan yang menuntun kita untuk memberikan nama-nama baru, (dan kita) tidak melangkahi hal itu.
Apakah dengan demikian bisa disebut bahwa pemerintah sedang mengabadikan sejarah dengan menenggelamkan sejarah lainnya?
Ya, menurut saya ini poin besarnya. Saya nggak tahu (pertimbangan) peraturan pemerintah yang tinggi itu, tidak mendapatkan. Itu kan revolusionis, (dari) PBB juga itu. Itu kan membuat, apa ya, membuat kita dalam posisi yang cukup aneh itu menurut saya, (karena ada) produk hukum yang tinggi.
Baca Juga: Namanya Unik, Sejarah Desa Cawet Pemalang Bermula dari Tokoh Legenda Ini
Jadi, misal bicara sejarah, dari 22 nama (yang diubah) itu, apakah ada relasi sejarah dengan namanya yang diubah?
Kan begini. Yang kita ikuti itu harusnya PP Nomor 2. Jadi jurkam PP Nomor 2 nih saya, hehehe. Ya, karena saya merasa PP Nomor 2 (meski) memang tidak lengkap, tapi maksud tujuannya penting banget. Buat saya, orang Sejarah, itu melindungi sumber saya untuk menulis nama yang tepat. Menurut saya ya, (semacam) arsip. Kaya berita lama yang bisa saya ajak bicara. Kaya tadi saya cerita, kaya Kebon Kacang gitu lho. Saya pikir, PP Nomor 2 itu mengajarkan kita, kenapa kita tidak menyasar pada nama-nama jalan yang belum bernama atau (yang) ambigu. Yang namanya tidak sesuai dengan kota yang ingin mencitrakan diri sebagai kota yang respek pada memori orang Betawi. Kan ada nama-nama jalan yang gak jelas.
Misalkan jalan di kawasan SCBD (Sudirman Central Business District). Itu nama jalannya apa di SCBD, di dalam SCBD itu? Itu nama jalannya apa? Artinya, menurut saya, itulah pentingnya amanah PP itu. Kita melakukan inventarisasi, setelah diinventarisasi kita bakal mengetahui mana jalan yang bernilai, (yang) belum punya nama, dan mana yang menyalahi nilai, tidak sesuai dengan nilai tentang kota yang kita bayangkan di masa depan.
Nah, itulah maksud saya, (bahwa) kalau kita mau mengubah tantangan di masa depan (untuk) kota seperti Jakarta, atau kota-kota besar lain di dunia, adalah (terkait) iklim, alam. Artinya kita harus menuju kota hijau atau kota biru, kota yang ekologis, karena tantangan terbesar adalah (faktor) ekologis. Jadi kita harus mengubah menjadi kota yang ekologis, kota hijau, kota biru, atau kota hijau dan biru. Bukan "kota abu-abu" yang hanya aspal dan beton.
Jadi nama tempat yang identik dengan nama tumbuhan dan tanaman, penting kita jaga, agar dia bisa menjadi pengingat setiap kita. Kalau kita jalan lewat Kebon Kacang, mana kebonnya ya? Nggak ada lagi. Kalau lewat Gandaria, mana pohonnya? Kalau lewat Kemang, mana pohon kemangnya? Lebih gampang nyari kuntilanak daripada itu.
Nama tempat itu (merupakan) local wisdom yang harus dijaga. Jadi kalau bualan kita (ini) seperti tidak respek terhadap pencapaian nama-nama yang menggantikan nama tempat itu, tapi menurut saya kita harus lebih cermat dalam urusan pemberian nama ini, karena niat yang baik itu jadi salah tempat.