Akhirnya kami dijaga, karena saya lapor ke kakak saya. Kebetulan, sekarang sudah almarhum, beliau itu Laksus (pelaksana khusus) yang termasuk kejar-kejar Ali Sadikin.
Kata dia ‘lu berani banget’ dilihat suratnya, ada bercak darah. Dia ngomong ‘ini bukan preman yang kirim’ ternyata kami hanya mau dibungkam, di kamar dijaga, katanya takut dibunuh, padahal mah bukan.
Ya karena gitu, gila ya kita diperiksa, cuma karena mau bikin ketawa. Sebentar lagi, ketawa dilarang nih. Bercandanya gitu.
Siapa yang akhirnya muncul bikin celetukan gitu?
Kita bareng-bareng, yang akhirnya punya tagline 'jadi kita harus tertawa sebelum tertawa itu dilarang'. Suka pakai peragaan kan, kita mau ketawa, ada tentara atau polisi nggak nih? Sampai akhirnya ada tagline seperti itu.
Sempat khawatir nggak sih om dengan adanya hal kayak gitu?
Ya itu, dari tadinya takut, sampai sudah biasa. Pertama yang kita dikepung polisi. Ya polisinya juga pasti ketakutan lah, kami memberikan kritik, yang dikritik adalah kebijakannya. Aneh, sumir. Kelihatan banget bahwa ini adalah sekadar kekuasaan. Kita kritik. Itu pun bercanda.
Masih inget nggak sih om satu candaan yang dulu dibawakan?
Misalnya, aku juga telat nih, ditangkap polisi. Apaaa gitu alasannya lupa. Ya begitu disamperin, ntar pak kencing dulu. Di balik pohon aku selipin duit di STNK, dulu kan masih murah. Rp 5000. Aku kasih STNK di dalam duit.
(kata) Polisi, 'kencing lagi sana'. Aku selipin lagi 2 ribu, (kata) polisi, masih ada nggak kencingnya? Diperes-peres. Tersinggung mereka, besoknya boleh main, ada show ini. Tapi warkop harus minta maaf pada kepolisian RI.
Setelah itu, minta maaf nggak?
Nggak. Tapi kita tahu jalannya, pakai (trik) 48-48. 48 itu taksi ke gedung Merdeka. Kami nggak minta maaf, bilangnya gini, 'maaf teman-teman kami cerita polisi, itu kejadiannya di India ya, Tuan Takur. Ya kami pikir, kenapa minta maaf? Wong kami melucu kok.