Gindring Waste: Tengkorak, Kritik Sosial, dan Kegelisahan Seniman di Tengah Intimidasi

Bangun Santoso Suara.Com
Kamis, 06 Maret 2025 | 08:05 WIB
Gindring Waste: Tengkorak, Kritik Sosial, dan Kegelisahan Seniman di Tengah Intimidasi
Seniman mural asal Magelang, Gindring Waste. (Foto: Istimewa)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Bagaimana seharusnya seniman yang sering melakukan kritik di jalan merespons sikap kekuasaan saat ini?

Ya seharusnya bebas sih, asal nggak mengejek. Kita seniman itu mengritik bukan mengejek. Sepertinya mereka itu merasa terejek. Berarti kritik itu bisa bener dong, wong mereka merasa terejek. Kalau mereka tidak seperti yang dikritik kan seharusnya diam saja. Kami melempar kritik hanya ingin menyuarakan apa yang sebenarnya dirasakan masyarakat. Menyampaikan uneg-uneg masyarakat. Lewat seni kan lebih estetik.

Salah satu karya seniman mural Gindring Waste. (Foto: Istimewa)
Salah satu karya seniman mural Gindring Waste. (Foto: Istimewa)

Apa kemudian kekuasaan ini menyadari bahwa kritik lewat seni bisa lebih mengena bagi masyarakat?

Kritik lewat karya seni, musik, lagu kan bisa lebih over power. Lebih masuk ke masyarakat luas. Tapi masyarakat tidak sadar punya kekuatan. Kekuasaan kemudian takut kepada masyarakat yang tersadar. Dari lihat gambar, mendengar lirik lagu, rakyat bisa sadar apa yang terjadi selama ini. Apalagi liriknya jelas sekali ya. “Mau bikin gigs bayar polisi”? (Petikan lirik lagu ‘Bayar Bayar Bayar’ yang dinyanyikan band Sukatani) Lirik itu kan nggak ngejek polisi. Itu realitanya. Tidak ada lirik ‘polisi an**ng’ yang menghina polisi misalnya. Kalau itu jelas ngejek.

Kita mau apa-apa jelas bayar polisi. Lirik di lagu itu nggak ada yang ngejek. Tapi kok bisa begitu karena mungkin ada yang tersinggung. Mungkin dia sadar atas kelakuannya. Akhirnya jadi serik. Seperti disadarkan (atas perilakunya) tapi tidak terima. Realitanya kan memang seperti itu. Kami seniman hanya menunjukkan kebenaran.

Nah kalau ada orang sudah melawan kebenaran, berarti jahat. Sesuatu yang sudah melawan nalar dan logika, biasanya buruk. Jahat. Seniman ingin menyingkap kebenaran itu. Kami itu aslinya simpel kok. Nggak cuma aku, tapi juga teman-teman seniman lain, cuma ingin hidup damai. Nggak ada pihak yang merugikan dan dirugikan.

Berarti sekarang situasinya tidak damai?

Secara sosial ekonomi kan nggak. Sekarang banyak tagar #kaburdulu, lha itu gimana? Itu kan berarti takut (situasi sedang menakutkan). Orang kabur itu kan gara-gara nggak nyaman. Ada sesuatu yang salah.

Dalam kasus band Sukatani, gimana respons Gindring?

Baca Juga: Sukatani Akui Diintimidasi Polisi, Koalisi Masyarakat Sipil: Ini Tindak Pidana

Aku kaget. Soalnya aku ada hubungan juga dengan Sukatani. Sebagai seniman dan musisi. Aku sedang bikin cover lagu terbarunya dia (Sukatani). Single mereka. Lha kok tahu-tahu dia posting itu. Ya terus aku WA cuma nggak ada tanggapan, mungkin lagi sibuk atau sedang tidak lihat sosmed. Tanggapanku soal kasus itu ya, separah itukah? Aku tanya ke mereka tapi belum dijawab WA-ku sampai sekarang.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI