Gindring Waste: Tengkorak, Kritik Sosial, dan Kegelisahan Seniman di Tengah Intimidasi

Bangun Santoso Suara.Com
Kamis, 06 Maret 2025 | 08:05 WIB
Gindring Waste: Tengkorak, Kritik Sosial, dan Kegelisahan Seniman di Tengah Intimidasi
Seniman mural asal Magelang, Gindring Waste. (Foto: Istimewa)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Karya street art Gindring Waste. (Dok. Pribadi)
Karya street art Gindring Waste. (Dok. Pribadi)

Jadi punya hubungan dekat dengan Sukatani?

Dekat. Aku kan juga punya band (Slappy Ratz), pernah manggung bareng. Mereka lihat aku main terus senang. ‘Gaweke cover laguku sing sesuk, anyar’ (buatkan cover laguku yang baru besok).
Cover lagunya sudah jadi tinggal launching. Cuma lagu ini nggak menyinggung kekuasaan sih. Lebih ke fenomena unik di sekitar. Aku sukanya mereka itu karena kejujuran berkarya. Dari desa, (kalau manggung) suka membagikan sayur, sesuai dengan namanya Sukatani. Aku yang paling suka mereka karena karyanya jujur. Keren sih.

Gindring secara pribadi mengidentifikasi diri sebagai street art nggak sih?

Bebas orang mau menyebut aku apa. Yang penting aku suka berkarya aja. Mungkin beda dengan seniman jalanan lainnya, karya Gindring juga jadi bahan koleksi orang.

Gimana memposisikan dua hal yang sekilas terkesan bertolak belakang itu?

Menurut aku street art dan seni kanvas itu soal sudut pandang saja. Hanya sebagai media. Kalau aku bosen di kanvas ya ke tembok. Kalau bosen di tembok ya balik lagi ke kanvas. Bahkan bisa ke skateboard. Aku menganggap itu semua cuma media. Bahkan kalau karyaku di tembok ditumpuki karya lain ya nggak apa. Fine saja. Misal sudah menggambar di tembok ya itu sudah milik publik. Yang penting aku sudah mendokumentasikan. Sudah difoto, disimpan, cukup. Setelahnya mau tumpuk, dicoret-coret luweh (terserah).

Gimana idealisme karya Gindring bisa diterima oleh mainstream?

Aku sebenarnya cuma menjadi diri sendiri. Membuat pasar sendiri itu juga sebenarnya tidak sengaja. Konsisten saja berkarya. Aku juga nggak tahu ternyata karyaku itu laku. Ada yang koleksi. Aku awalnya menggunakan seni sebagai media bicara karena aku nggak pinter nulis. Bersuara juga nggak dianggap. Makanya aku pakai mural buat mediaku bicara. Menyampaikan uneg-uneg. Sesimpel itu. Tak lakoni terus, ternyata didengarkan orang. Ya sudah aku lanjut terus sampai sekarang. Konsisten saja. Bahkan kalau kita konsisten, kita bikin pasar sendiri. Di musik juga begitu.

Musik noise itu siapa yang dengar?

Baca Juga: Sukatani Akui Diintimidasi Polisi, Koalisi Masyarakat Sipil: Ini Tindak Pidana

Nyatanya ya ada. Jualan kaset record ada (yang beli). Mengadakan tur juga ada yang nampani (menonton). Apapun yang kita jual pasti ada yang beli. Wis aku yakin itu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI