Blak-blakan Budiman Sudjatmiko: dari Kereta Barang hingga Rencana Dahsyat Entaskan Kemiskinan

Jum'at, 04 April 2025 | 07:34 WIB
Blak-blakan Budiman Sudjatmiko: dari Kereta Barang hingga Rencana Dahsyat Entaskan Kemiskinan
Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) Budiman Sudjatmiko. (Foto dok. ist)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Karena banyak nanti barang diproduksi yang nggak butuh produksi di pabrik. Di rumah bisa, ada mesin cetak dan segala macam. Artinya, kalau kita mengandalkan salary workers di pabrik itu sama saja dengan mengentaskan orang dari pelampung, naik ke perahu lalu perahunya bocor atau perahu yang nggak kuat menghadapi disrupsi ke depan yang nggak lama lagi.

Kalau menggeser mereka ke entrepreneur itu sekarang juga masuk ke ranah koordinasinya Mas Budi nggak?

Basically iya. Kita harus ngobrol dengan UMKM. Dua minggu lalu saya ke Sulawesi tengah. Saya bertemu organisasi UMKM Sulawesi Tengah, 5 ribu orang saya ajak Menteri UMKM nggak hadir, akhirnya datang Wakil Menteri UMKM. Saya bilang, urusan saya membuat UMKM-mu menjadikan orang miskin di sekitar tempat usahamu ikut jadi ekosistem, minimal sebagai pekerja. Kedua, sebagai pemasok. Jadi, urusan saya adalah bagaimana mendorong ekosistem ini sebisa mungkin menjangkau orang yang paling miskin di sebuah daerah.

Kemudian enabler teknologi, kampus, private sectors, bagaimana rencananya?

Karena private sectors, kita sudah berbicara juga dengan beberapa pihak. Kami sudah mendapat kunjungan dari luar negeri malah, Cyberport. Cyberport itu adalah sebuah pengelola kawasan industri digital di Hongkong, sudang mengunjungi kami, juga kemudian dengan kampus secara khusus, belum tapi sudah ada tawaran beberapa ya yang mau kita ajak bicara juga.

Kita akan ajak bicara beberapa kampus, yang sudah ada itu media malah sudah ada, Kedaulatan Rakyat. Saya diskusi dengan KR sudah berbicara menjawab anomali. Jogja provinsi dengan indeks pembangunan manusia keempat terbaik di Indonesia tapi dengan tingkat kemiskinan nomor satu di pulau Jawa. Anomali, IPM-nya tingga tapi tingkat kemiskinannya juga tinggi. Ini anomali. Berarti kita harus mengentaskan kemiskinan dengan multidimensi, mungkin di situ butuh kampus. Nah, UGM saya pikir bisa memberikan kontribusi banyak, terutama multisektor, multidisiplin ya.

Alumni-alumni UGM saya pikir juga ada banyak di pemerintahan, ada banyak di kalangan sektor swasta, kalau sektor akademisi juga tentu saja ada. Kami berharap nanti bisalah dengan. Kagama, dengan UGM, kita bikin MoU untuk mendorong bagaimana percepatan pengentasan kemiskinan. Tapi mungkin perguruan tinggi, menurut saya ya, perguruan tinggi nanti akan saya ajak bukan untuk mengatasi kemiskinan yang disebabkan faktor-faktor lama. Itu sudah banyak ilmunya, itu bisa cari banyak NGO. Saya justru mau mengajak perguruan tinggi yang khas ya, perguruan tinggi seperti UGM, kita minta UGM untuk mengidentifikasi faktor-faktor lahirnya kemiskinan baru yang diakibatkan oleh disrupsi.

Tugas kalangan akademisi adalah melihat melampaui yang lain. Masa UGM ngurusi pupuk, nggak lah, itu sudah banyak ilmunya menyebar tapi UGM dan perguruan tinggi lain harus ada di depan.

Bagaimana pengalaman di UGM dulu, apakah visi kerakyatan juga menginspirasi Mas Budi untuk aktif untuk di ektrakampus?

Baca Juga: Sakiti Hati Rakyat Miskin, Hukuman 20 Tahun Penjara Harvey Moeis jadi Mimpi Buruk Sandra Dewi!

Di UGM itu lebih banyak belajar di luar kampusnya ya. Saya nongkrongnya di kantin sastra, di kantin ekonomi, saya dulu ekonomi kan sebelahan ya. Di situ banyak aktivis-aktivis ngobrol. Saya terus terang di UGM lebih banyak berpikir di ruang kuliah dan lebih banyak aktivitas di luar. Saya melakukan advokasi petani di Cilacap, advokasi petani di Ngawi, lebih banyak saya di sana. Jadi, saya bukan mahasiswa yang baik sebenarnya. Saya bukan mahasiswa yang baik dalam pengertian standar pada waktu itu ya, tapi saya bukannya nggak belajar. Saya belajar dengan menu saya sendiri.

Saya sering berdiskusi dengan profesor-profesor di sana, dengan teman-teman yang rajin kuliah. Kalau saya nggak rajin kuliah, diskusi di gelanggang mahasiswa waktu itu. Jadi, tetap ada pertukaran ilmu itu ada, visi kerakyatan, visi keprogresifan UGM, open minded UGM karena begini, dibandingkan dengan kampus-kampus besar lain di Indonesia, kampus maupun di luar kampus ya, saya melihat komunitas internal UGM dengan komunitas eksternalnya, entah di Jalan Kaliurangnya, Pandega Dutanya, disebelah timur Samir, masyarakatnya, antara kampus dan kampung, saya melihat linier cara berpikirnya, linier nilai-nilai masyarakatnya. UGM terbuka, masyarakatnya pun terbuka. Masyarakat Jogja itu terbuka kan, linier. Mungkin isi pikiran beda ya tapi gatuk.

Satu komunitas seperti itu sebenarnya sangat mudah untuk membangun ekosistem bisnis teknologi yang saya kurang ada di Jogja. Bandingkan dengan daerah lain, kampus-kampus lain. Nilai di kampusnya dengan masyarakat kampus dan kampungnya itu jomplang, bahkan berbeda ya. Orang yang mikir di kampus, ketika keluar dari kampus itu bisa beda. Kalau di UGM yang saya tahu, antara kampus dengan kampung sama.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI