Reformasi APBN untuk Lepas dari Jeratan Utang

Iwan Supriyatna Suara.Com
Sabtu, 14 April 2018 | 20:15 WIB
Reformasi APBN untuk Lepas dari Jeratan Utang
Statistik Utang Luar Negeri Indonesia Kuartal III 2017. [Screenshot Data Bank Indonesia]

Pertama, tentunya utang harus dikurangi secara bertahap. Alternatif untuk menambal utang tersebut bisa dengan mengoptimalkan setoran pendapatan dari BUMN. Dalam RAPBN 2018, pemerintah menetapkan target penerimaan negara atas laba BUMN atau dividen Rp 43,7 triliun.

Angka tersebut meningkat 11% target 2017 sebesar Rp 41 triliun. Target itu berasal dari 26 BUMN yang sudah go public (Tbk) sebesar Rp 23,14 triliun, lalu dari 81 BUMN non Tbk sebesar Rp 19,5 triliun, lalu 18 BUMN di mana pemerintah menjadi pemegang saham minoritas Rp 112 miliar, dan 5 BUMN yang berada di bawah Kementerian Keuangan Rp 906 miliar.

Selama ini, BUMN banyak mendapat sumber pembiayaan dari negara namun kontribusi terhadap APBN masih kecil. Deviden yang disetorkan BUMN ini belum maksimal yang diakibatkan masih banyak kebocoran dan performa kinerja yang masih buruk atau merugi.

Oleh karena itu, kinerja perusahaan pelat merah ini harus didorong dan kemanfaatannya bisa dirasakan oleh rakyat, baik dalam bentuk kontribusi ke APBN ataupun memberikan kualitas layanan yang baik.

Untuk yang terakhir, misalnya PT PLN, yang harus didorong mampu memberikan harga listrik yang terjangkau bagi masyarakat.

Hal ini menjadi insentif juga bagi bagi masyarakat dan dunia usaha, dan dapat meningkatkan daya beli juga. Pasalnya, kenaikan tarif listrik hanya menambah beban ekonomi rakyat dan bisnis.

“Secara umum produktivitas BUMN harus ditingkatkan agar bisa memainkan peran untuk memberikan pemasukan yang signifikan sebagai mengganti utang atau tidak turut menyebabkan high cost economy," ujar Farouk.

Apalagi di sektor infrastruktur, proyek yang digarap BUMN masih mengandalkan suntikan dari APBN yakni sebesar 41,3% atau sekitar Rp 1.969,6 triliun dari total kebutuhan Rp4.769 triliun.

Sayang, kontribusi dari BUMN baru sekitar 22,2% dan partisipasi swasta sekitar 36,5%. Tantangannya adalah, BUMN harus dikelola seperti perusahaan swasta, yang sama-sama dibebankan membayar pajak tapi mampu berkinerja baik dengan di antaranya mencetak laba lebih besar.

Baca Juga: Misbakhun Tegaskan Utang Pemerintahan Presiden Jokowi 'Clear'

Kedua, mengurangi pengeluaran belanja pegawai dan barang. Meski sulit, Farouk berujar, belanja pegawai bisa efisien kalau jumlah aparatur sipil negara (ASN) dipangkas, yang tentunya akan berdampak juga terhadap penurunan belanja barang.

Ketiga, mengefektifkan pemungutan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Bagaimanapun, pemungutan pajak juga tetap perlu memperhatikan dampaknya terhadap daya beli masyarakat biasa dan investasi bisnis.

Di sini prioritisasi pengejaran pajak harus efektif. Pengejaran pajak yang agresif terhadap masyarakat umum hanya buang-buang energi tapi hasilnya tak signifikan.

Untuk itu, Ditjen Pajak dengan kapasitas SDM yang terbatas itu harus mengefektifkan sumberdaya yang ada dengan mengejar wajib pajak kakap bukannya kelas UKM dan masyarakat biasa dengan penghasilan yang minim.

“Orang-orang sangat kaya dan kaya di Indonesia (top 1% yg menguasai 50% kekayaan negara) dari mulai konglomerat, para pejabat kaya, para artis kaya, pejabat BUMN, dan yang semacamnya itu yang harus dikejar, hal ini juga terkait dengan upaya untuk mengurangi ketimpangan ekonomi,” tutup Farouk.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI