"Nah cuma bagaimana dalam penegakan hukum itu yang harus kita lihat lagi. Jadi misalkan berinvestasi di saham Astra misalkan, padahal secara hitung-hitungan sudah masuk perusahaan yang memiliki tata kelola yang bagus, nah ternyata beli di harga 7 ribu, ternyata begitu tutup buku harganya 6500, nah masa investasinya sudah sesuai dianggap merugikan negara karena turun kan," katanya.
"Terus kemudian apakah salah berinvestasi di Astra, kan enggak juga kan. Jadi seperti yang saya bilang harus melihat dari berbagai aspek. Kecuali kalau misalkan masuk ke saham-saham yang memang di luar SOP, itu menyalahi aturan. Tapi kalau misalkan seperti kasus yang tadi, sudah mengikuti sesuai SOP dan ketentuan yang ada, tapi ternyata investasinya turun, nah itu kah harus dilihat lagi kesalahannya dimana, apa itu salah kelola ataus kesalahan lainnya. Jadi penegakan hukum juga harus dilihat dari berbagai macam sisi," ujarnya lagi.
Senada, Ekonom Center of Reform on Economics Indonesia (CORE), Yusuf Rendy Manilet berpendapat bahwa masalah kepastian hukum merupakan salah satu pertimbangan penting bersama dengan beberapa pertimbangan ekonomi lain seperti kemudahan berinvestasi, ataupun akses pembiayaan perbankan.
"Meski beberapa aturan menjamin aspek penegakan hukum untuk investor, hanya saja, yang perlu menjadi perhatian ialah masalah turunnya peringkat indeks korupsi Indonesia. Tentu ini menjadi semacam lampu kuning, karena jika pemberantasan korupsi dianggap melemah, maka hal ini bisa jadi mengindikasikan potensi penyelewangan kekuasaan. Hal ini saya kira bisa menjadi persepsi negatif bagi investor," kata Yusuf.
Ia mengatakan, dalam beberapa ukuran persepsi korupsi di Indonesia, ada salah salah satu ukuran penilaian penurunan demokrasi yang dikontribusikan pada varieties of democracy. Yakni menggambarkan korupsi politik masih terjadi secara mendalam dalam sistem politik di Indonesia.
"Sekali lagi hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi investor nantinya," pungkasnya.