"Nah, istilah nominee yang dilekatkan kepada pihak, yang kemudian saham atau asetnya atau perusahaannya disita itu ternyata tidak dapat dibuktikan atau dijelaskan di muka pengadilan. Saya coba komunikasi dengan sejumlah nasabah dan para pihak yang duduk sebagai pihak ketiga itu. Lalu dapa tanda tanya besar dalam benak saya. Sebagaimana yang kita ketahui, hanya penyidik atau kejaksaan saja yang memilik akses data terkait aset kan ya. Namun mengapa yang selalu muncul ke media dana publik hanya nilai bombastinya dari kerugian negara, sebenarnya yang merugikan itu siapa? Apa perannya orang-orang yang kemudian saham atau asetnya disita? Orang-orang ini kemudian kehilangan akses terhadap aset milinya yang menjadi sitaan jaksa," imbuhnya.
Haris pun menyebut jika saat ini tidak ada satu mekanisme yang dijamin oleh hukum, yang bisa memfasilitasi perlindungan atas aset pihak ketiga. Satu-satunya yang bisa memberikan angin segar, lanjutnya, yaitu temuan dari ombudsman, namun itupun bila hasil temuannya ditindaklanjuti.
"Tahun lalu, ombudsman sudah mengatakan bahwa memang ada potensi penyalahgunaan kewenangan oleh kejaksaan dalam proses penyidikan penanganan kasus Jiwasraya. Nah, saya ingin tekankan bahwa penanganan korupsi itu tidak boleh semena-mena, nggak bisa sekedar menyita, merampas dan melelang. Ini kan seolah-olah negara nggak punya duit, lalu tiba-tiba diambillah aset Jiwasraya dan akhirnya nasabah yang harus bayar. Seolah negara lupa bahwa ada keterlibatan keringat, pemikiran, air mata atau mungkin juga darah yang telah berkontribusi dalam proses kapitalisasi aset nasabah," ujarnya.
"Maka percuma teriak-teriak di mana-mana, bahkan bikin simbolisasi Omnibus Law untuk mengundang investasi, omong kosong pemerintah itu. Bikin omnibus law hanya untuk menunjukkan bahwa penting ada pembangunan ekonomi dan bisnis, tetapi ada modal dari anak bangsa yang justru diberangus oleh para penegak hukum. Para penyidik ini tidak bisa menunjukkan korelasi antara pelaku dengan asetnya sehingga menyebar tuduhan bahwa pemiliknya adalah nominee dari terpidana. Agar memudahkan hartanya atau asetnya diambil untuk menutupi kerugian negara yang sebenarnya tidak nyata karena BPK masih menghitung potensi dan bukan riil," tegasnya.