"Kalau saya melihat dorongannya ini dari dunia internasional (Majelis Kesehatan Dunia)," terangnya.
Akan tetapi, lanjutnya, Indonesia harus kuat membentengi tekanan tersebut, karena kultur Indonesia berbeda dengan negara lain, mereka tidak memiliki petani, sedangkan di Indonesia ada petani tembakau.
"Petani di Indonesia bukan hanya sekedar petani tetapi sudah menjadi cara hidup untuk berekonomi," kata Agus.
Dijelaskan Agus, sampai saat ini petani belum dilibatkan dalam revisi PP 109/2012. "Melihat proses dorongan revisi ini hanya mengakomodir kepentingan kesehatan, padahal kalau proses ini mau benar, maka semua harus dilibatkan," tegasnya.
"Dan saya melihat ada paksaan agar semua mengamini proses revisi PP 109/2012," tambah Agus.
Dikatakan Agus, ada beberapa poin yang akan direvisi pada PP 109/2012, termasuk pengetatan iklan, gambar diperbesar dan lainnya. Akan tetapi, lanjutnya, lima poin revisi tersebut merupakan pembatasan/pengendalian produk jadi tembakau.
"Ketika revisinya lebih di pertajam maka akan terjadi kehancuran atau kiamat ekonomi masal. Kenaikan cukai setiap tahun juga akan berdampak pada penyerapan bahan baku yang sangat negatif," katanya.
Menurutnya, PP 109 tahun 2012 sebagian besar kontruksi pasalnya mengadopsi atau berkiblat pada FCTC.
Sehingga, kata Agus, tidak perlu di ratifikasi dan mengaksesi aturan dunia tersebut karena pasal-pasalnya sebagian besar sudah di adopsi di PP 109/2012.
Baca Juga: Warga Lereng Sindoro Temanggung Lakukan Tradisi Wiwit Tembakau
"Petani tembakau dan turunannya akan lebih hancur ketik revisi PP 109/2012 terlalu dipaksakan," tegas Agus.