Pertanian dan Infrastruktur Terdampak
Panas ekstrem merupakan salah satu dampak krisis iklim yang sangat nyata di Indonesia. Hawa panas ini menurunkan hasil panen dan pangan di Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam riset Kinose tahun 2020.
Dalam skenario tinggi emisi, merujuk pada penelitian ini,
Pulau Jawa dan wilayah utara Sumatera akan mengalami penurunan panen beras sampai 20-40% pada 2040.
Penelitian lain tahun 2018 mengatakan, kenaikan suhu berdampak langsung pada penurunan panen kakao di Indonesia. Jika suhu mencapai 27-27,5°C maka hasil panen bakal merosot 67% dan bahkan sering mencapai nol.
Selain kakao, beras dan kopi juga akan terdampak dari kenaikan suhu dan penurunan curah hujan.
“Kompilasi data dan proyeksi dari berbagai laporan ini dapat menjadi basis bagi aksi iklim bersama oleh berbagai pihak, terutama pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil, agar target-target pembangunan Indonesia menuju ekonomi hijau dapat tercapai.” kata Azis Kurniawan, Manajer Riset dan Pengembangan Koaksi Indonesia.
Dampak krisis iklim juga dialami sektor infrastruktur. Riset Stone tahun 2021 menunjukkan, peningkatan hawa panas membuat permintaan pendingin udara lebih besar, artinya menambah beban pada jaringan listrik.
Gangguan pada jaringan listrik penyedia jasa pendinginan saat terjadi gelombang panas dapat menimbulkan korban jiwa. Sejumlah penelitian juga mengungkapkan panas ekstrem akan menurunkan fungsi pembangkit listrik tenaga termal sehingga mengganggu pasokan listrik.
Selanjutnya, mengacu penelitian Dobney tahun 2008, rel kereta bisa melengkung dan rusak jika suhu melampaui rancangannya. Tak hanya itu, riset Smoyer-Tomic dan tim tahun 2003 mengatakan, suhu tinggi bisa menyebabkan jalan-jalan meleleh dan menempel pada ban kendaraan.
Baca Juga: Menuju Zero Emission 2050, Sekolah di Jakarta Ikut Program NetZero
Efektivitas pendinginan mesin kendaraan juga akan berkurang dan menambah kemungkinan pecahnya ban, artinya kemungkinan kecelakaan menjadi lebih tinggi.