Kajian itu juga mengungkapkan perkembangan industri yang lambat di dua wilayah, terutama di Paser, di mana produk domestik regional bruto (PDRB) industri manufaktur masih lebih rendah daripada pertanian.
Sementara, di Muara Enim, kurangnya peluang ekonomi yang layak juga disebabkan oleh terbatasnya lahan pertanian, terutama perkebunan karet, sebagai akibat dari perubahan penggunaan lahan dari perkebunan menjadi area konsesi pertambangan.
Oleh karena itu, IESR meminta agar pemerintah pusat dan daerah dapat melakukan transformasi ekonomi dengan sektor keunggulan di setiap daerah penghasil batu bara.
"Misalnya saja, sektor keunggulan di Kabupaten Paser, yakni pendidikan dan jasa keuangan. Sementara itu, sektor keunggulan di Kabupaten Muara Enim, yakni akomodasi dan jasa makanan karena kinerjanya yang lebih baik dibandingkan dengan daerah sekitarnya," kata Analis Sosial dan Ekonomi IESR Martha Jesica.
Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Paser, Rusdian Noor, menyampaikan harapannya agar percepatan transisi energi di wilayah yang menghasilkan batu bara didukung oleh pemerintah pusat dalam hal investasi dan inovasi teknologi.
Rusdian menyebutkan, "PDRB Kabupaten Paser pada tahun 2022 memiliki kontribusi sekitar 75 persen untuk mendukung pembangunan daerah, dengan sebagian besar berasal dari sektor pertambangan. Transisi energi dengan diversifikasi sektor ekonomi harus dapat memenuhi 75 persen PDRB, sehingga kami dapat tetap menjalankan pembangunan tanpa kehilangan daya."
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Kepala Bappeda Kabupaten Muara Enim, Mat Kasrun, yang mengungkapkan pentingnya keterlibatan Pemerintah Kabupaten Muara Enim dalam setiap proses pembuatan kebijakan terkait transisi energi. Ia menekankan perlunya kewenangan dalam pengembangan energi baru dan terbarukan serta berharap mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah pusat, termasuk memberikan keleluasaan dalam wewenang atau perizinan terkait pengembangan sektor ekonomi baru di daerah tersebut.