Namun demikian, pengamat ekonomi syariah sekaligus Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, Ustaz Muhammad Syamsudin melalui NU Online, terkait hal ini menyinggung Majelis Fatwa Tunisia, memberi pengertian “al-maksu” sebagai: المكس هو جباية وضريبة كانت موضوعة على السلع في الجاهلية وكانت من التسلط الظالم وأخذ أموال الناس بغير حق Artinya: “Al-maksu adalah pungutan atau tarikan yang ditetapkan atas suatu harta dagangan pada masa jahiliyah. Itu termasuk kategori perbuatan penguasaan yang dhalim dan termasuk pula sebagai perbuatan mengambil harta orang lain tanpa hak.”
Majelis Fatwa Tunisia tersebut juga menambahkan: والذي جرى العرف في بلادنا أنهم يطلقون المكس على ما يأخذه مكتري السوق ممن ينتصبون لبيع منتوجتهم لكن لما كان هذا المال الذي يدفعه العارض لاينتفع به شخص معين وإنما هو مال يصرف في المصالح العامة إسهاما من العارضين في ميزينية البلدنية أو الدولة ولما كانت البلدية أو الدولة ميزانها مضبوطا صرفا وقبضا ومراقبا من مؤسسات قائمة على حسن التصرف فإنه بذلك يكون المال المأخوذ جاريا مجرى الضرائب التي تدفع من الأفراد إلى الدولة لتقوم بمصالحهم وهي بذلك جائزة لاحرمة فيها
Artinya: “Urf yang berlaku di negara kita (Tunisia) yang sering disebut sebagai al-maksi adalah harta yang dipungut oleh petugas pasar dari orang-orang yang menjual barang produksi mereka. Apabila harta pungutan tersebut diserahkan secara insidentil dan tidak dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu melainkan ditasarufkan untuk kemaslahatan umum seperti membiayai kegiatan-kegiatan insidentil terukur oleh wilayah atau negara, dan apabila wilayah atau negara menetapkan aturannya yang mencakup besaran, tujuan hendak dipergunakan, penerimaannya serta diawasi oleh badan-badan khusus sehingga penyalurannya dapat berlangsung baik, maka harta sebagaimana yang sudah dijelaskan dimuka termasuk bagian dari iuran yang dibayarkan oleh individu kepada negara agar tercapai kemaslahatan. Hukum dari iuran / pungutan seperti ini adalah boleh serta tidak haram.”
Dari penjelasan yang diberikan oleh Majelis Fatwa Tunisia, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara al-maksu yang dipungut pada zaman jahiliyah dengan al-maksu (dlaraib) yang dipungut oleh negara.
Perbedaan tersebut terletak pada status legal formal al-maksu menurut hukum negara. Jika suatu pungutan pajak telah ditetapkan besaran dan mekanisme pengawasannya oleh negara, serta diakui secara resmi, maka pungutan tersebut tidak lagi dianggap sebagai pungutan liar.
Dalam konteks kontemporer, pungutan semacam ini dikenal sebagai pajak. Berbeda dengan al-maksu yang dikenakan oleh individu pada masa jahiliyah, pungutan semacam itu disebut sebagai al-maksu yang haram karena termasuk dalam kategori pemalakan atau pungutan liar.
Dengan demikian, disimpukan bahwa al-maksu yang dimaksud berbeda dengan pajak karena bersifat pungutan paksa atau liar. Pajak tidak bisa dikategorikan sebagai al-maksu karena kesepakatan antara negara dengan warga sebagai wajib pajak.
Wallahu alam bisshawwab. Kebenaran hanya milik Allah SWT,
Baca Juga: Baru Sebulan Jadi Menteri, AHY Minta Tambahan Anggaran Setengah Triliun Lebih ke Sri Mulyani